"Edgar Alan Poe?"
Ia mengangguk.
"Wow! Sang Cerpenis."
"Ya, Penyair."
"Kau suka karya-karyanya?"
"Errr, sebenarnya tidak terlalu."
"Hmmm. Saya pun begitu. Terlalu melebih-lebihkan emosi, pengalaman personal, dan pilihan bebas. Fokus berlebihan pada eksistensi pribadi. Mungkin karena seperti nenek moyang Inggrisnya, mereka berusaha terlalu keras membebaskan diri dari kungkungan Calvinisme."
"Oh, kau lumayan awas terhadap perkembangan literatur rupanya. Itu poin yang menarik. Izinkan kucatat, siapa tahu bisa jadi tema bukuku kelak. Errrr ... Jiwa sastra Amerika... Ya! Terima kasih. Aku bahkan bisa membayangkan judulnya." Ia menatap saya dengan mata berbinar-binar.
"Tetapi sepertinya kau terlalu memandang negatif romantisme Amerika, seolah tak ada sumbangan berarti mereka bagi kemanusiaan," lanjutnya tetapi kini dengan tatapan penuh selidik.
"Ah, maaf, jangan salah tanggap. Semua karya berkontribusi positif ... eee tentu juga negatif, seperti pedang mata dua, bagi kemajuan peradaban. Saya menghormati romantisme sebab melihat potensi mereka menyumbang besar pada demokrasi, maksud saya demokrasi politik... hak sipil politik. Tanpa itu semua  kita tidak beda dengan binatang, bukan?"
Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh, menyempatkan mencatat beberapa hal sambil mengangguk-angguk, menyebabkan formasi rambut sisir belahnya sedikit terburai, meski tidak porak-poranda.