Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Menristekdikti "Ditunggangi" Menko Polhukam dan Kapolri

30 September 2019   10:07 Diperbarui: 30 September 2019   11:00 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri Tito Karnavian, Menristekdikti Mohammad Nasir dan Menko Polhukam Wiranto.png [tangkap layar youtube.com/coffee4souls]

Bagi saya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi adalah salah satu menteri paling menggemaskan dalam kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kala. Ia bikin gemas karena pertama saya lebih mudah menemukan kebijakan-kebijakan Menristekdikti yang kontroversial dibandingkan prestasi-prestasinya. Entahlah. Mungkin saya yang mainnya kurang jauh, atau memang salah google yang gagal mengindeks rekam jejak prestasi beliau.

Kedua, Pak Menteri menjadi bertambah kocak ketika ikut-ikutan mengurusi hal yang bukan amanat tugasnya. Misalnya saat ini, ketika ia memerankan karakter menteri orde baru, menghalang-halangi demonstrasi mahasiswa.

Pak Mohammad Nasir bicara kepada wartawan, menyampaikan penilaiannya bahwa aksi demonstrasi mahasiswa ditunggangi.

"Pada saat itu ada yang enggak tau apa yang didemokan, enggak tau, tapi hanya ingin ini dibatalkan. Apa yang dibatalkan, isinya, substansinya tidak tahu secara detil. ... saya tanya, (dijawab) 'enggak tau, ikut-ikutan', lah ini ada yang menggerakkan ini." kata Pak Nasir (Kompas.com, 26/9/2019).


Rupanya kesimpulan itu Pak Nasir ambil karena dalam penilaiannya, mahasiswa tidak tahu detil isi dan substansi revisi UU KPK dan rancangan KUHP yang mereka persoalkan. Tentu saja tahu detil yang dimaksud di sini adalah detil substansi dan isi versi Pak Mohammad Nasir.

Sepintas, cara Pak Mohammad Nasir bernalar ini merupakan silogisme hipotetik, logika sederhana yang dipelajari generasi baby boomers semasa duduk di bangku SMP. Saya tak tahu, bocah milenial mempelajarinya saat usia berapa. Mungkin lebih muda lagi.

Pak Menteri punya dua premis di sini. Pertama, jika mahasiswa tidak paham detil substansi persoalan revisi UU KPK dan Rancangan KUHP, demonstrasi mereka ditunggangi. Kedua, mahasiswa yang dijumpai Pak Nasir tidak paham detil substansi persoalan revisi UU KPK dan Rancangan KUHP.

Berbekal dua premis itu, Pak Menteri menarik kesimpulan: mahasiswa yang dijumpainya berdemonstrasi karena ditunggangi.

Secara format, silogisme hipotetik Pak Menteri benar. Sayangnya, sangat cacat asal-usul premisnya. Darimana ia bisa buat hipotesis (dalam premis mayor) jika tidak paham detil substansi, demonstrasi mahasiswa ditunggangi? Bisa saja mereka mengerti roh dari revisi UU KPK tanpa harus paham detil tentang substansi kan?

Bisa pula mahasiswa yang ditanyai Pak Nasir percaya penuh kepada analisis teman-teman mereka. Jika teman-temannya menyatakan revisi dilakukan untuk melindungi koruptor, maka demikianlah yang mereka anggap benar.

Dalam organisasi mahasiswa, banyak mahasiswa yang bermental tim hore seperti ini. Tak masalah. Yang menyatukan orang-orang dalam organisasi memang bukan kesetaraan pengetahuannya, melainkan adanya trust antara individu-individu dengan kapasitas berbeda-beda.

Bisa pula mahasiwa yang dijumpai Menteri Nasir merasa tak perlu terlalu detil melihat substansi untuk berkesimpulan revisi UU KPK ini dilandasi semangat jahat. 

Mungkin mereka merasa cukup dengan menimbang timing (beberapa hari lagi masa jabatan anggota DPR berakhir) dan latar belakang (paling banyak anggota DPR kena OTT KPK) sebagai landasan bersikap menolak revisi ini.

Yang ini pun tidak bermasalah sebab memang akar penolakan revisi UU KPK bukan pada tepat-tidaknya pasal-pasal dalam UU revisi, melainkan pada ketiadaan kepercayaan terhadap niat baik DPR selaku lembaga yang anggotanya paling banyak kena ciduk KPK. Ini kecurigaan yang sangat bisa dimaklumi.

Cacat pula cara Pak Menristekdikti membangun premis minornya. Bagaimana ia bisa yakin mahasiswa yang menjawab "tidak tahu" dan "Cuma ikut-ikutan" sebagai sungguh tak tahu? 

Bisa saja mereka ogah menjawab karena eneg ditanya pejabat pemerintahan yang mereka tuding ikut mendukung revisi UU KPK. Bisa pula mereka menjawab ikut-ikutan karena tidak mau disangka sebagai penggerak, bukan?

Yang Paling Menyedihkan dari Cara Bernalar Menristekdikti

Yang paling menyedihkan adalah jika kita pinjam cara bernalar Menristekdikti, kesimpulan kita akan berujung pada Menristekdikti ditunggangi dalam berpikir.

Lihat saja, Menteri Mohammad Nasir menyatakan sama sekali tidak tahu---bukan sekadar tidak tahu detil---siapa pihak-pihak yang ia tuding menunggangi demonstrasi mahasiswa.

"Saya enggak tau ini, siapa pun saya belum tahu. Yang penting jangan sampai membuat kekacauan di dalam negeri ini. Kita pelihara bersama lah negara ini dengan baik," kata dia.

Lha, Pak Menteri tidak tahu sama sekali siapa pihak yang ia tuding menunggangi demonstrasi mahasiswa (premis minor), sementara menurut cara bernalar Pak Menteri, "jika orang tidak tahu apa yang dibicarakannya, orang itu bertindak karena ditunggangi" (premis mayor). 

Jadi tudingan aksi mahasiswa ditunggangi bukan bersumber dari pikiran mandiri dan sadar Pak Menteri, melainkan pikiran orang lain yang sedang menunggangi Pak Menteri. Sangat mungkin pula Pak Menteri menunggangkan pikirannya kepada orang lain.

Lantas cara berpikir siapa yang menunggangi penalaran Menristekdikti? Ya, paling mungkin menduga itu cara berpikir Kapolri dan Menkopolhukam. Dua pejabat inilah yang mula-mula dan paling getol meneriakkan urusan tunggang-menunggang dalam aksi protes mahasiswa.

Maka jadilah Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, tokoh terkemuka dari dunia cerdik pandai ditunggangi dalam bernalar oleh tokoh-tokoh dari kalangan serdadu. Hiks. Sedih.

Sosok Menteri P dan K Orba Bangkit

Sebenarnya tidak membahayakan jika Menristekdikti tidak mampu bernalar mandiri. Toh, ia sendiri yang menikmati cacat itu. Yang jadi persoalan adalah ketika oleh cara bernalar yang ditunggangi itu, Menristekdikti menghidupkan kembali sosok menteri pendidikan ala Orde Baru, membatasi hak sipil-politik para pelajar dengan kebijakan represif.

Upaya mencegah mahasiswa berunjukrasa dengan menekan birokrasi kampus (rektor dan jajaran dosen) melalui ancaman sanksi adalah cara yang khas dilakukan para menteri pendidikan era Orde Baru.

Pak Menteri mungkin melakukan langkah lebay ini sebagai investasi mempertahankan jabatan. Sayangnya ia lalai menimbang. Justru dengan kebijakan represif seperti ini, bukan dirinya yang terancam tak dipakai lagi dalam kabinet mendatang, Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf pun bisa-bisa tak berumur panjang.

Jadi Bapak, jika Anda tak punya cukup gagasan bagaimana membangun pendidikan tinggi Indonesia, buatlah satu hal minimal saja: jangan bungkam demokrasi bagi mahasiswa. Jangan bertindak yang berdampak membusukkan pemerintahan Jokowi dari dalam.

Begitu. Peluk dan cium.***

___

Dipublished juga di blog pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun