Bagi saya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi adalah salah satu menteri paling menggemaskan dalam kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kala. Ia bikin gemas karena pertama saya lebih mudah menemukan kebijakan-kebijakan Menristekdikti yang kontroversial dibandingkan prestasi-prestasinya. Entahlah. Mungkin saya yang mainnya kurang jauh, atau memang salah google yang gagal mengindeks rekam jejak prestasi beliau.
Kedua, Pak Menteri menjadi bertambah kocak ketika ikut-ikutan mengurusi hal yang bukan amanat tugasnya. Misalnya saat ini, ketika ia memerankan karakter menteri orde baru, menghalang-halangi demonstrasi mahasiswa.
Pak Mohammad Nasir bicara kepada wartawan, menyampaikan penilaiannya bahwa aksi demonstrasi mahasiswa ditunggangi.
"Pada saat itu ada yang enggak tau apa yang didemokan, enggak tau, tapi hanya ingin ini dibatalkan. Apa yang dibatalkan, isinya, substansinya tidak tahu secara detil. ... saya tanya, (dijawab) 'enggak tau, ikut-ikutan', lah ini ada yang menggerakkan ini." kata Pak Nasir (Kompas.com, 26/9/2019).
Rupanya kesimpulan itu Pak Nasir ambil karena dalam penilaiannya, mahasiswa tidak tahu detil isi dan substansi revisi UU KPK dan rancangan KUHP yang mereka persoalkan. Tentu saja tahu detil yang dimaksud di sini adalah detil substansi dan isi versi Pak Mohammad Nasir.
Sepintas, cara Pak Mohammad Nasir bernalar ini merupakan silogisme hipotetik, logika sederhana yang dipelajari generasi baby boomers semasa duduk di bangku SMP. Saya tak tahu, bocah milenial mempelajarinya saat usia berapa. Mungkin lebih muda lagi.
Pak Menteri punya dua premis di sini. Pertama, jika mahasiswa tidak paham detil substansi persoalan revisi UU KPK dan Rancangan KUHP, demonstrasi mereka ditunggangi. Kedua, mahasiswa yang dijumpai Pak Nasir tidak paham detil substansi persoalan revisi UU KPK dan Rancangan KUHP.
Berbekal dua premis itu, Pak Menteri menarik kesimpulan: mahasiswa yang dijumpainya berdemonstrasi karena ditunggangi.
Secara format, silogisme hipotetik Pak Menteri benar. Sayangnya, sangat cacat asal-usul premisnya. Darimana ia bisa buat hipotesis (dalam premis mayor) jika tidak paham detil substansi, demonstrasi mahasiswa ditunggangi? Bisa saja mereka mengerti roh dari revisi UU KPK tanpa harus paham detil tentang substansi kan?