Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maling dan Mobil Presiden, Ibu Kota Baru dan Kisruh Papua

27 Agustus 2019   11:10 Diperbarui: 27 Agustus 2019   11:33 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Soekarno, monumen pembangunan Kota Palangkaraya 1957 [Kompas.com]

Selain persoalan Papua, ada dua hal yang sedang jadi gunjingan hangat publik se-tanah air: pergantian mobil presiden dan pemindahan ibu kota negara.

Mobil presiden dan ibu kota adalah onderdil penting sebuah negara. Mana ada negara tanpa ibu kota? Di ibu kota inilah presiden berkedudukan, memimpin negara dan--dalam sistem presidensial--memimpin jalannya pemerintahan.

Dalam memimpin negara dan pemerintahan, Presiden tentu sering mondar-mandir. Ada mondar-mandir di lingkungan ibu kota dan sekitarnya, ada pula hilir-mudik ke daerah-daerah yang jauh. 

Untuk urusan mondar-mandir di ibu kota, presiden butuh mobil. Karena ia presiden, mobilnya harus khusus, yang memang diperuntukan hanya untuknya. Maka saya kira tak ada negara tanpa mobil kepresidenan.

Karena ibu kota negara dan mobil kepresiden orderdil penting negara, dan negara kita sudah tua usianya, tentulah ibu kota dan mobil presiden punya aspek kesejarahan, termasuk sejarah ganti mobil presiden dan pindah ibu kota negara. 

Tetapi tahukah kita, benang merah sejarah urusan mobil presiden dan pemindahan ibu kota negara pernah bersimpul penting pada sosok 'maling'? Bahkan urusan Papua pun bersimpul padanya.

Ya, M A L I N G !

# Begini kisahnya ...

Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka dalam kondisi darurat. Banyak hal tak dipikirkan, termasuk soal mobil kepresidenan.

Ya bagaimana mau dipikirkan, tanggal 17 Agustus jadi hari kemerdekaan saja lahir dari ketidaksabaran para pemuda komunis di Asrama Menteng 31 yang terprovokasi dedengkot komunis Tan Malaka. 

Padahal saat itu elit-elit tua masih meraba-raba, apakah benar Jepang kalah, bagaimana sikap Belanda, Indonesia sudah siap-belum untuk merdeka, dan lain-lain urusan menimbang masa yang tepat untuk jadi bangsa merdeka.

Komunis? Iya. Pahit memang. Kok bisa-bisanya mereka malah yang punya kredit besar atas peristiwa 17 Agustus ya?  Ya, sudah. Santai saja. 

Itu kenyataan sejarah. Wikana itu ketua bawah tanah PKI ilegal wilayah Jawa Barat. Pada 1965, ia masih tercatat sebagai anggota Komite Sentral atau Mejelis Syuro PKI. 

Sementara Chairul Saleh dan Sukarni adalah dua murid langsung Tan Malaka. Waktu Tan Malaka dirikan Gerakan Rakyat Revolusioner, Chaerul Saleh yang ditunjuk jadi sekretaris pergerakan. 

Chairul Saleh dan Sukarni kemudian menjadi pemimpin Murba, Partai yang didirikan Tan Malaka yang sering lomba klaim paling kiri dengan PKI.

Baiklah. Lupakan komunis-komunis tadi. Kita kembali ke urusan kemerdekaan yang tak memikirkan sejumlah tetek-bengek, termasuk mobil kepresidenan.

Indonesia sudah punya presiden dan wakil presiden. Tetapi bagaimana dengan mobilnya? Harus beli? Siapa yang bersedia urunan? Atau ada yang mau belikan?

Beruntunglah ada Sudiro, mantan guru dan kepala sekolah yang kreatif. Ia mengambil inisiatif membujuk supir pejabat Jepang, Kepala Departemen Perhubungan Jepang agar melarikan mobil milik tuannya sehingga kelak bisa diserahkan kepada Presiden Soekarno.

Sudiro memilih mobil Kepala Departemen Perhubungan Jepang karena memang milik si Tuan Nippon itu tergolong paling mewah, Buick-8. Ini mobil edisi terbatas (hanya 1.451 unit) yang diproduksi Buick di Detroid, Amerika Serikat---kelak jadi anak usaha General Motors-- pada 1939.

Spec Buick-8 tergolong mewah pada zamannya. Ukuran bodinya 2,99 x 3,9 meter. Mesinnya 4 tak 8 silinder dengan 2 katup, berkapasitas 5247 cc yang menghasilkan 141 tenaga kuda. Antara supir dan penumpang ada kaca yang bisa dinaik-turunkan. Keluarga kerajaan Inggris juga menggunakan mobil ini.

Buick-8, mobil kepresiden pertama [gridoto.com]
Buick-8, mobil kepresiden pertama [gridoto.com]

Nah, si bos Jepang yang menyadari mobilnya hilang sudah pasti beteriak-teriak, "maling ... maling." Rasain. Emang kimochi, mobil mahal digondol orang?

Dalam kacamata si Jepang, Sudiro maling. Memang begitu. Tetapi dalam sudut pandang kita, orang-orang republik, Sudiro adalah pejuang. Lagi pula, Buick-8 itu Jepang rampok dari Belanda, dan Belanda membeli dari uang hasil merampok kekayaan negeri ini. Jadi, sebenarnya Sudiro hanya merebut kembali mobil yang memang merupakan hak rakyat Indonesia.


Sudiro juga tak layak kita sebut maling karena ia bukan orang sembarangan. Sejatinya Sudiro mantan guru dan kepsek di sejumlah sekolah antara 1931-1944 (Kepsek Mulo -Kweekschool Boedi Oetomo, Ketua Taman Siswa Madiun, Ksatriaan Institut Cianjur, Kepsek HIS Curup dan Palembang, hingga inspektur sekolah Balatentara Jepang di Plaju).

Ketika pada 1 Januari 1944 Jepang menganti Putera dengan Jawa Hokkoai, Sudiro menjadi Pemimpin Barisan Pelopor Jawa Hooko Kai Jakarta. Keterlibatan Sudiro dalam organisasi tempat Bung Karno menjadi penasihat umumnya ini tentu bukan tanpa sengaja. Pada 1931-1935, Sudiro adalah anggota Pengurus Besar Partindo. Ini adalah partai politik kelanjutan PNI lama yang didirikan Sartono setelah Belanda menangkap dan mengucilkan Bung Karno. Sartono harus melajutkan garis perjuangan politik Bung Karno karena dua tokoh lain (Hatta dan Syahrir) memilih garis berbeda dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia.

Nah, andai di hari-hari seputar kemerdekaan itu, Sudiro terlalu banyak menggunakan timbangan moral kaku sebagai seorang mantan kepsek, maka negeri kita mungkin tidak punya mobil kepresidenan di masa-masa awal republik berdiri. Untunglah saat itu Soediro memilih menggunakan nalar dan nurani seorang revolusioner yang radikal dan dialektis.

# Lantas apa hubungan maling, mobil presiden, dan pindah ibu kota?

Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan sudah ada sejak masa Presiden Soekarno. Pada 1950an, Bung Karno memiliki gagasan memindahkan ibu kota negara ke Kalimatan Tengah.

Ini bukan gagasan kosong. Bukti niat sungguh-sungguh pemerintah saat itu adalah dengan membangun tugu peringatan peletakan batu pertama pembangunan kota Palangkara. Tugu itu kelak disebut Tugu Soekarno, diresmikan oleh Presiden Soekarno sendiri pada 1957.

Nah, era saat pemindahan ibu kota digagas hingga peresmian tugu Soekarno, Jakarta dipimpin oleh Soediro, tokoh yang semasa proklamasi kemerdekaan mencuri mobil jepang untuk jadi mobil kepresidenan. Saat itu status kepala pemerintahan Jakarta masih walikota.

Sayangnya, niat memindahkan ibu kota ke Palangkaraya tidak berlanjut. Menurut sejarahwan Asvi Marnam, ini karena Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Anggaran yang ada digunakan untuk membangun stadion, Hotel Indonesia, mall Sarinah, dan Patung Selamat Datang di Bundaran HI.

# Lalu soal perebutan Papua?

Saat ini problem Papua diwarnai pula narasi yang berkembang di tanah air bahwa Indonesia menjajah Papua. Dahulu, ketika Papua (Irian Barat) direbut dari tangan Belanda, tak ada narasi yang demikian itu. Yang ada cuma Indonesia membebaskan Papua dari cengkraman penjajahan Belanda.

Karena itu, dahulu perjuangan merebut Irian Barat bukan cuma dilakukan pemerintah dan TNI. Kekuatan politik dan ormas  turut serta dengan membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang dibentuk pada 1957 (pada 1959 diubah menjadi Front Nasional). 

Tujuan perjuangan FNPIB/FN adalah memobilisasi kekuatan massa dalam menyelesaikan revolusi Indonesia; melaksanakan pembangunan semesta berencana; dan mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah republik Indonesia. Salah bentuk perjuangan  konkritnya adalah memobilisasi pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan milik Belanda dan America Serikat sebagai bentuk dukungan terhadap taktik diplomasi pemerintah.


FNPIP itu sendiri berkembang dari organisasi bernama Dana Perjuangan Irian Barat, yang tujuannya memang menggalang dana untuk mendukung kampanye pembebasan Irian Barat. Nah, Sudiro, tokoh kita dalam pencurian mobil kepresidenan dan Gubernur DKI Jakarta semasa rencana pemindahan ke Kalimantan yang gagal itu, adalah Ketua Umum Dana Perjuangan Irian Barat (1957--1962).

Terus, artikel ini tentang apa sih? Ya tentang Sudiro, kakeknya Tora Sudiro. Mengenang para penjasa masa lalu itu penting, sebab dari tangan merekalah negeri ini kita warisi.

Sudiro, Wali Kota Jakarta [suara.com]
Sudiro, Wali Kota Jakarta [suara.com]

# Terus adakah monumen yang bisa dipakai mengenang Sudiro?

Peninggalan Sudiro umumnya bukan fisik, melainkan tata wilayah dan pemerintahan. Ia membagi Jakarta ke dalam tiga kabupaten: Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Sudiro pula yang menggagas keberadaan rukun tetangga dan rukun warga di Jakarta.

Sementara untuk monumen fisik yang bisa dipakai mengenang Sudiro, bolehlah Monas. Monumen kebanggaan yang awalnya hendak disebut Tugu Nasional (Tunas) ini digagas pada era Sudiro tetapi baru mulai dibangun di masa Soemarmo, penggantinya.

Sumber:

  1. "Wacana Pemindahan Ibu Kota pada Era Soekarno dan Sebelumnya..." Kompas.com. 30/4/2019
  2. "Cerita Di Balik Mobil "Curian" untuk Bung Karno."  Kompas.com. 16/8/2019.
  3. "Kisah Buick "Curian" untuk Soekarno." Tirto.id. 17/8/2016
  4. "Sejarawan Ungkap Batalnya Pemindahan Ibu Kota era Soekarno Karena Asian Games 1962." Merdeka.com. 24/8/2019.
  5. "Cerita Jakarta: Syamsuridjal Pelopor Infrastruktur Jakarta." Tagar.id. 23/7/2018
  6. "Jejak langkah dan karya 13 gubernur Jakarta." Merdeka.com. 20/9/2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun