Nah, si bos Jepang yang menyadari mobilnya hilang sudah pasti beteriak-teriak, "maling ... maling." Rasain. Emang kimochi, mobil mahal digondol orang?
Dalam kacamata si Jepang, Sudiro maling. Memang begitu. Tetapi dalam sudut pandang kita, orang-orang republik, Sudiro adalah pejuang. Lagi pula, Buick-8 itu Jepang rampok dari Belanda, dan Belanda membeli dari uang hasil merampok kekayaan negeri ini. Jadi, sebenarnya Sudiro hanya merebut kembali mobil yang memang merupakan hak rakyat Indonesia.
Sudiro juga tak layak kita sebut maling karena ia bukan orang sembarangan. Sejatinya Sudiro mantan guru dan kepsek di sejumlah sekolah antara 1931-1944 (Kepsek Mulo -Kweekschool Boedi Oetomo, Ketua Taman Siswa Madiun, Ksatriaan Institut Cianjur, Kepsek HIS Curup dan Palembang, hingga inspektur sekolah Balatentara Jepang di Plaju).
Ketika pada 1 Januari 1944 Jepang menganti Putera dengan Jawa Hokkoai, Sudiro menjadi Pemimpin Barisan Pelopor Jawa Hooko Kai Jakarta. Keterlibatan Sudiro dalam organisasi tempat Bung Karno menjadi penasihat umumnya ini tentu bukan tanpa sengaja. Pada 1931-1935, Sudiro adalah anggota Pengurus Besar Partindo. Ini adalah partai politik kelanjutan PNI lama yang didirikan Sartono setelah Belanda menangkap dan mengucilkan Bung Karno. Sartono harus melajutkan garis perjuangan politik Bung Karno karena dua tokoh lain (Hatta dan Syahrir) memilih garis berbeda dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia.
Nah, andai di hari-hari seputar kemerdekaan itu, Sudiro terlalu banyak menggunakan timbangan moral kaku sebagai seorang mantan kepsek, maka negeri kita mungkin tidak punya mobil kepresidenan di masa-masa awal republik berdiri. Untunglah saat itu Soediro memilih menggunakan nalar dan nurani seorang revolusioner yang radikal dan dialektis.
# Lantas apa hubungan maling, mobil presiden, dan pindah ibu kota?
Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan sudah ada sejak masa Presiden Soekarno. Pada 1950an, Bung Karno memiliki gagasan memindahkan ibu kota negara ke Kalimatan Tengah.
Ini bukan gagasan kosong. Bukti niat sungguh-sungguh pemerintah saat itu adalah dengan membangun tugu peringatan peletakan batu pertama pembangunan kota Palangkara. Tugu itu kelak disebut Tugu Soekarno, diresmikan oleh Presiden Soekarno sendiri pada 1957.
Nah, era saat pemindahan ibu kota digagas hingga peresmian tugu Soekarno, Jakarta dipimpin oleh Soediro, tokoh yang semasa proklamasi kemerdekaan mencuri mobil jepang untuk jadi mobil kepresidenan. Saat itu status kepala pemerintahan Jakarta masih walikota.
Sayangnya, niat memindahkan ibu kota ke Palangkaraya tidak berlanjut. Menurut sejarahwan Asvi Marnam, ini karena Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Anggaran yang ada digunakan untuk membangun stadion, Hotel Indonesia, mall Sarinah, dan Patung Selamat Datang di Bundaran HI.