Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahasiswa Papua dan Polwan Bandung, Miras dan Stereotip Rasial

23 Agustus 2019   02:34 Diperbarui: 23 Agustus 2019   03:29 1961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam tadi saya senyam-senyum membaca berita yang dibagikan di grup WA para bekas aktivis Jawa Barat. Ibu Christy, polwan di Bandung memberikan puluhan botol minuman beralkohol ke asrama mahasiwa Papua di saat anak-anak muda itu sedang menggelar unjuk rasa di depan gedung sate.

Dikisahkan BandungKita.id, Kamis (22/8/2019), kurang lebih pukul 13, mahasiswa Papua di Bandung menggelar unjuk rasa mengutuk tindakan aparat terhadap mahasiwa Papua di Malang dan Surabaya. Sebagian besar penghuni asrama mahasiswa Papua di Jalan Cilaki ikut unjuk rasa itu, kecuali Miles, salah seorang penghuni dan mungkin beberapa orang lain.

Sekitar pukul 13.22 WIB, asrama Papua kedatangan tamu. Ibu Christy yang berseragam polisi ditemani rekannya. Miles yang menerima mereka terkejut karena Ibu Christy menyerahkan dua kardus yang setelah dibuka isinya puluhan botol minuman berkadal alkohol 19 persen. Tambah 1 persen lagi masuk golongan minol tipe C.

"Ini minuman buat malam. Jangan bilang siapa siapa," pesan Polwan Christy kepada Miles. Mungkin karena cemas ada kenapa-kenapa di balik kemurahan hati 'minuman buat malam' itu, Miles segera membawanya ke gedung sate, tempat unjuk rasa sedang berlangsung.

"Ini sebuah penghinaan (terhadap) mahasiswa Papua. Bahwa ini merupakan stigma rasis. Dia pikir mahasiswa Papua pemabuk," seru Weak Kosay, korlap aksi saat dilaporkan tentang kehadiran puluhan botol miras pemberian ’oknum’ polisi. Sebenarnya kita tak tahu, ini oknum--Bu Christy bertindak atas inisiatif sendiri—atau memang kebijakan institusi.

Rupanya Bu Christy juga sudah berada di lokasi unjuk rasa, dan buru-buru menghampiri para mahasiswa yang menolak pemberiannya.

"Sore ini Ibu mau klarifikasi. Minuman ini hanya minuman segar saja yang ingin saya kasih. Ibu minta maaf. Terima kasih kalau begitu saya meminta maaf kalau adek-adek tidak menerima pemberian ini," kata Bu Christy di hadapan puluhan massa aksi.

Kejadian ini mengundang senyum sekaligus bikin dada sesak.

Ia mengundang senyum karena ironis. Perda Kota Bandung no 11/2010 mengatur penjualan minol hanya "diperbolehkan untuk mereka dan yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang dibuktikan dengan Kartu Identitas atau Kartu Tanda Penduduk (KTP)." Meskipun yang diatur usia pembeli,  saya kira kita sepakat maknanya adalah orang berusia di bawah 21 tahun sebaiknya tidak mengonsumsi minol.

Tetapi ’oknum’ polisi Bandung membagikan puluhan botol minol nyaris golongan C kepada para mahasiswa. Termasuk dalam usia mahasiswa adalah 18 tahun. Berarti ada kemungkinan minol yang dibagikan ’oknum’ polisi ini dikonsumsi pula oleh pemuda berusia 18, 19, dan 20 tahun.

Akhir Mei lalu, dalam kata sambutan acara pemusnahan 39 ribu botol minol hasil rasia Porestabes Bandung, Wakil Wali Kota Yana Mulyana berkata, "Perda kita lebih mengatur lebih ketat peredaran minuman beralkohol ini karena minuman ini bisa jadi pemicu kelompok masyarakat melakukan tindakan kejahatan." (Kumparan.com, 31/5/2019).

Saya tidak menuduh minuman yang diserahkan ke para mahasiswa Papua itu bagian yang kececer dari jumlah yang terlaporkan dimusnahkan, lho. Saya hanya merasa lucu, minuman yang bagi Wakil Wali Kota Yana Mulyana "pemicu tindakan kejahatan", bagi "oknum" polisi Bandung "cuma minuman segar saja" dan "minuman malam yang jangan bilang siapa-siapa."

#Bias Stereotip Rasial

Yang menyesakkan dada adalah seperti kata korlap aksi, "Ini sebuah penghinaan ... stigma rasis. Dia pikir mahasiswa Papua pemabuk."

Tindakan ’oknum’ polisi Bandung memberi puluhan botol miras kepada mahasiswa Papua sangat patut diduga mengandung bias stereotip rasial atau rasisme.

Stereotip adalah konstruksi kognisi yang mengandung pengetahuan atau kepercayaan tentang grup masyarakat yang berbasis prasangka (umumnya negatif) yang tidak benar tetapi diterima begitu saja sebagai kebenaran. Ketika stereotip dilekatkan pada ras, ia menjadi rasisme.

Sudah jamak masyarakat Indonesia menyimpan stereotip rasis dalam kepala mereka tentang orang Papua. Salah satunya pemuda Papua pemabuk.

Gara-gara prasangka itu, mahasiswa Papua di sejumlah kota tempat studi mendapat perlakuan diskriminatif, bahkan sering pula persekusi.

Dua tahun lalu Anggi Kusumadewi menulis laporan menarik di CNN Indonesia (10/8/2016). Ia kisahkan kesaksian Roy, pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua tentang kesulitan teman-teman sepulau asalnya mendapatkan kos-kosan. Mereka ditolak meski masih ada kamar kosong. Para pemuda Papua tahu, alasan mereka ditolak adalah stereotip yang menyebar di masyarakat bahwa pemuda Papua biasa mabuk dan bikin onar.

Roy bercerita jika sebenarnya anak-anak Papua tidak terbiasa minum saat masih di kampung halaman. Tiba di Yogya, lingkungan pergaulan membuat mereka ikut-ikutan menegak miras. Karena tak terbiasa, mereka mudah mabuk.

BBC (14/7/2016) juga pernah menurunkan artikel serupa, berisi kisah Benediktus Fatubun dan Ruben Frasa, mahasiswa Papua di Yogyakarta yang selama setahun tak kunjung mendapat kos.

Ini kronis. Kisah serupa sudah saya dengar dari mahasiswa NTT di Surabaya 17 tahun silam. Saat mencari kos, anak-anak NTT yang berkulit gelap dan berambut kriting akan ditanya berulang-ulang apakah mereka berasal dari Papua atau tidak.

Di lingkungan tempat tinggal saya ada tetangga asal Papua. Dahulu ada kelompok arisan. Yang paling aktif bapak-bapak sebab seusai emak-emak pulang, kami lanjutkan dengan arisan miras. Yang paling sering membawa miras simpanannya justru bapak-bapak orang Sumatera dan Jawa, selain tentu saja kami, orang setempat. Sementara si tetangga asal Papua tidak biasa menyimpan minol di rumahnya.

Suatu ketika tetangga Papua ini bikin hajatan. Banyak mahasiswa dari pulau asalnya turut hadir. Saya agak terkejut ketika sejumlah mahasiswa Papua justru menampik sedoran gelas sopi, minuman hasil penyulingan fermentasi gula lontar. "Kami tak bisa minum, Pak. Cepat mabuk," kata mahasiwa asal Papua yang duduk di samping saya.

Urusan gemar menegak minol memang tak ada kaitannya dengan ras. Suatu waktu saya diundang ke Semarang oleh seorang kawan, aktivis tua, orang asli Semarang. Beliau sudah almarhum kini. Kami saling mengagumi kemampuan minum minol ketika di Jakarta diundang ke bar untuk perayaan menyambut kedatangan anak seorang petinggi LSM perburuhan asal Amerika. Si kawan mengajak saya sewaktu-waktu ke Semarang agar bisa ia traktir minum congyang.

Maka jadilah suatu ketika saya berada di sana. Baru sebotol—saat itu congyang sudah dikemas baik dalam botol seukuran botol bir bintang, tetapi sudah pula dijual sembunyi-sembunyi--saya sudah mabuk. Si almarhum terheran-teran, juga mengomel sebab ia harus menghabiskan sendiri 3 botol lainnya.

"Kalian orang Timur aneh, ya. Kawan-kawan Papua itu juga gampang kalah ketemu congyang. Padahal kerasan sopi e," katanya.

#Yang lebih keji dari stereotip rasis adalah PRASANGKA POLITIK

Yang lebih kejam dari stereotip rasis adalah prasangka politik. Di Bandung, saya kenal seorang pemuda Aceh yang dipenjara karena tertangkap menyimpan selinting ganja di dompetnya. Ia divonis 3,2 tahun penjara. Menurutnya, pemuda asal Aceh yang tertangkap memiliki ganja akan dihukum 2-3 tahun lebih lama dibanding orang lain. Rupanya ada prasangka bahwa mereka menjual ganja untuk membiayai Gerakan Aceh Merdeka.

BACA JUGA: "Menjadikan Pancasila sebagai "Leitstar" Penyelesaian Masalah Papua"

Para mahasiswa Timor Leste dahulu juga mengalami peristiwa serupa. Saya ingat, 1999 di Yogya terjadi peristiwa perkelahian antara mahasiswa asal Kupang dengan mahasiswa asal Timor Timur (saat masih provinsi bungsu Indonesia). Mahasiswa Kupang menyerbu asrama mahasiwa Timor Leste di Jalan Kaliurang.

Pemilik warung di samping kos saya membicarakan peristiwa itu dengan mata berbinar-binar. "Rupanya ada yang lebih berani dari anak-anak Timor Timur, ya mas?" Katanya sambil acungkan jempol.

"Ibu kok senang?"

"Ya, iya toh, mas. Mereka kan minta pisah dari Indonesia. Saya dukung Kupang, mas," katanya, lalu menyajikan teh dan 5 potong tempe goreng, sarapan wajib saya. Tetapi kali itu gratis sebab saya berasal dari Kupang. Huadeh. Iya tak tahu, saya berempati terhadap perjuangan rakyat Maubere.

Hal serupa ini yang dialami mahasiswa Papua di banyak kota. Para penghuni asrama Papua senantiasa disangka pendukung OPM. Karena itu asrama mereka sering diintai, bahkan dikepung dan digrebek. Bukan baru terjadi di Semarang dan Surabaya tahun ini saja.

Prasangka politis seperti ini pula tampaknya yang membuat sejumlah petinggi di pemerintahan Joko Widodo, seperti pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, cepat sekali menuduh keterlibatan OPM di balik aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi di Papua.

Atau mungkin juga tudingan keberadaan OPM di balik beragam unjuk rasa di Papua bukan cuma berbasis prasangka politis. Mungkin saja berperan pula upaya cari kambing hitam untuk menyembunyikan kegagalan kebijakan dan pendekatan pemerintah terhadap problem rakyat sebagai sebab lahirnya aksi-aksi protes?

Entahlah. Coba tanya saja ke Pak Moeldoko, Pak Tito Karnavian atau Pak Budi Gunawan. Dengan catatan, sodori dulu minol agar percakapan berlangsung jujur.***

Sumber:.

  1. "Mahasiswa Papua Tolak Miras yang Dikirim Diduga Oknum Polisi di Bandung." Bandungkita.com. 22/8/2019.
  2. "Pemkot Bandung Akan Perketat Aturan Peredaran Minol." Kumparan.com. 31/5/2019
  3. "Resah Hati Orang Papua di Tanah Yogya." CNNIndonesia.com. 10/8/2016.
  4. "Mereka tidak menerima kos untuk anak Papua." BBC.com. 14/7/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun