Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahasiswa Papua dan Polwan Bandung, Miras dan Stereotip Rasial

23 Agustus 2019   02:34 Diperbarui: 23 Agustus 2019   03:29 1961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kronis. Kisah serupa sudah saya dengar dari mahasiswa NTT di Surabaya 17 tahun silam. Saat mencari kos, anak-anak NTT yang berkulit gelap dan berambut kriting akan ditanya berulang-ulang apakah mereka berasal dari Papua atau tidak.

Di lingkungan tempat tinggal saya ada tetangga asal Papua. Dahulu ada kelompok arisan. Yang paling aktif bapak-bapak sebab seusai emak-emak pulang, kami lanjutkan dengan arisan miras. Yang paling sering membawa miras simpanannya justru bapak-bapak orang Sumatera dan Jawa, selain tentu saja kami, orang setempat. Sementara si tetangga asal Papua tidak biasa menyimpan minol di rumahnya.

Suatu ketika tetangga Papua ini bikin hajatan. Banyak mahasiswa dari pulau asalnya turut hadir. Saya agak terkejut ketika sejumlah mahasiswa Papua justru menampik sedoran gelas sopi, minuman hasil penyulingan fermentasi gula lontar. "Kami tak bisa minum, Pak. Cepat mabuk," kata mahasiwa asal Papua yang duduk di samping saya.

Urusan gemar menegak minol memang tak ada kaitannya dengan ras. Suatu waktu saya diundang ke Semarang oleh seorang kawan, aktivis tua, orang asli Semarang. Beliau sudah almarhum kini. Kami saling mengagumi kemampuan minum minol ketika di Jakarta diundang ke bar untuk perayaan menyambut kedatangan anak seorang petinggi LSM perburuhan asal Amerika. Si kawan mengajak saya sewaktu-waktu ke Semarang agar bisa ia traktir minum congyang.

Maka jadilah suatu ketika saya berada di sana. Baru sebotol—saat itu congyang sudah dikemas baik dalam botol seukuran botol bir bintang, tetapi sudah pula dijual sembunyi-sembunyi--saya sudah mabuk. Si almarhum terheran-teran, juga mengomel sebab ia harus menghabiskan sendiri 3 botol lainnya.

"Kalian orang Timur aneh, ya. Kawan-kawan Papua itu juga gampang kalah ketemu congyang. Padahal kerasan sopi e," katanya.

#Yang lebih keji dari stereotip rasis adalah PRASANGKA POLITIK

Yang lebih kejam dari stereotip rasis adalah prasangka politik. Di Bandung, saya kenal seorang pemuda Aceh yang dipenjara karena tertangkap menyimpan selinting ganja di dompetnya. Ia divonis 3,2 tahun penjara. Menurutnya, pemuda asal Aceh yang tertangkap memiliki ganja akan dihukum 2-3 tahun lebih lama dibanding orang lain. Rupanya ada prasangka bahwa mereka menjual ganja untuk membiayai Gerakan Aceh Merdeka.

BACA JUGA: "Menjadikan Pancasila sebagai "Leitstar" Penyelesaian Masalah Papua"

Para mahasiswa Timor Leste dahulu juga mengalami peristiwa serupa. Saya ingat, 1999 di Yogya terjadi peristiwa perkelahian antara mahasiswa asal Kupang dengan mahasiswa asal Timor Timur (saat masih provinsi bungsu Indonesia). Mahasiswa Kupang menyerbu asrama mahasiwa Timor Leste di Jalan Kaliurang.

Pemilik warung di samping kos saya membicarakan peristiwa itu dengan mata berbinar-binar. "Rupanya ada yang lebih berani dari anak-anak Timor Timur, ya mas?" Katanya sambil acungkan jempol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun