Karena itu berbagai cara ditempuh PKS untuk memastikan Prabowo dan parpol koalisi menerima Salim Segaf. Mulai dari pernyataan-pernyataan mengancam akan cabut dari koalisi, wacana membangun poros ketiga, hingga menggunakan pengaruh Itjima Ulama yang seolah-olah forum netral untuk merekomendasikan Salim Segaf sebagai wakil.
Taktik menggunakan forum Itjima itu sebenarnya sudah sempurna, mencalonkan hanya 2 nama: Abdul Somad dan Salim Segaf.
Ada yang sudah berhitung, Abdul Somad tidak berminat terhadap sistem demokrasi liberal. Abdul Somad akan menolak tawaran ini sebab tak mungkin dirinya menjadi Amir al-Mu'minin di "negeri thogut" dan memimpin administratur yang "jahiliah". Maka pilihan yang tersisa hanya Salim Segaf.
Sayang, Prabowo menolak sosok Salim Segaf. Dengan dalih demi persatuan, dimajukanlah sosok Sandiaga Uno, wakil Prabowo sendiri dalam struktur Dewan Penasihat Gerindra.
Saat itu begitu banyak orang yang sudah yakin PKS akan menarik diri dari koalisi.
Mengejutkan! Bukannya menarik diri, Presiden PKS Sohibul Iman justru bikin rasionalisasi yang sulit diterima nalar, mengangkat Sandiaga Uno sebagai santri yang ia sebut santri pos-islamisme.
Sulit dipastikan, untuk siapa sebenarnya Sohibul mengadaptasi istilah Asef Bayat itu. Untuk melegitimasi Sandiaga kah? Atau sebenarnya itu pembelaan diri Sohibul, bahwa pragmatisme PKS, menyerah kepada prinsip yang jadi demagog mereka selama ini adalah objektif, berbasis realitas post-islamism, berakhirnya era euforia terhadap simbol dan wacana Islam politik?
Hemat saya, di sinilah momen genting PKS. Keputusan Sohibul dan jajaran pimpinan PKS mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga yang sama sekali bukan "representasi umat" bertentangan dengan propaganda demagogi PKS sendiri, baik ke internal kadernya, pun ke masyarakat luas.
Namun saat itu para kader dan simpatisan PKS mungkin masih bisa bersabar sebab yakin dengan pertimbangan pragmatis lain: posisi cawapres ditukar dengan jabatan Wagub DKI Jakarta yang ditinggalkan Sandiaga.
Ini adalah pertukaran yang menguntungkan PKS. Jabatan Wagub, apalagi di DKI lebih menguntungkan dibandingkan cawapres sebab jabatan itu telah ada, sudah pasti, tak perlu lagi bersusah payah memperjuangkannya.Â
Sebaliknya posisi cawapres belum tentu akan berhasil menjadi wapres. Jika para petinggi PKS rasional dan percaya ilmu pengetahuan tentulah mereka paham sangat kecil kemungkinan kubu Prabowo memenangkan pemilihan presiden.