Pimpinan PKS mengakui kader-kader partainya di DKI Jakarta kecewa oleh pengingkaran kesepakatan PKS-Gerindra untuk posisi Wakil Gubernur DKI pengganti Sandiaga Uno. Kekecewaan ini berkecenderungan kuat mengarah kepada lepas tangan PKS di DKI dalam pemenangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di pilpres 2019. Istilahnya, mematikan mesin partai.
Bagi Gerindra dan publik, pernyataan ini adalah ancaman untuk menaikkan posisi tawar agar Gerindra segera menyerahkan hak menentukan Wagub DKI pengganti Sandiaga kepada PKS.
Namun saya lebih melihat pernyataan ini bersifat ke dalam, sebuah lontaran kecemasan PKS sendiri akan keberlangsungan partainya.
Sebulan terakhir berturut-turut ratusan pengurus dan kader PKS mengundurkan diri dari jabatan dan keanggotaan. Media massa memberitakannya sebagai semata-mata persoalan penolakan kader terhadap kewajiban menandatangani komitmen kesetiaan terhadap kepemimpinan Sohibul Iman dkk.
Banyak pula yang menilai, ini gara-gara PKS gagal mendapatkan posisi strategis. Bermula dari kegagalan Salim Segaf menjadi cawapres pendamping Prabowo, dan menjadi-jadi saat janji jabatan Wagub DKI terkatung-katung. Gerindra yang hanya mau menang sendiri dituding sebagai biang kekacauan di internal PKS.
Bagi saya, sikap Gerindra yang tampak berprinsip "dari koalisi, oleh koalisi, untuk Gerindra" itu hanya katalisator yang mempercepat meletusnya pemberontakan para kader PKS, terutama di daerah-daerah. Sebab yang utama terletak dalam urat nadi PKS sendiri, salah satunya dalam kegagalan kepemimpinan politik Sohibul Iman, cs.
Ada dua masalah terkait politik PKS yang hemat saya jadi sumber keresahan dan akhirnya pembangkangan kader-kadernya hingga berujung pemecatan atau pengunduran diri.
Yang pertama adalah haluan aliansi taktis politik elektoral yang diambil pimpinan PKS.
Sohibul Iman sendiri pernah mengakui bahwa banyak kader PKS menolak mendukung Prabowo Subianto sebagai capres karena Prabowo bukan muslim taat. Sebagai partai dakwah yang mengklaim diri partai umat, massa PKS memandang memilih presiden sama dengan memilih pemimpin umat. Bagaimana bisa seorang yang bukan muslim taat bisa menjadi pemimpin umat?
Kontradiksi ini hanya bisa diselesaikan dengan menjadikan pemimpin tertinggi PKS Salim Segaf sebagai cawapres. Jika kelak Prabowo-Salim Segaf terpilih jadi Presiden-Wakil Presiden Indonesia 2019-2024 maka di internal massa PKS, figur Salim Segaf-lah yang sejatinya dianggap kepala negara.
Baca juga: Prabowo dan PKS, Balada Dua "Kawan Sejati"
Karena itu berbagai cara ditempuh PKS untuk memastikan Prabowo dan parpol koalisi menerima Salim Segaf. Mulai dari pernyataan-pernyataan mengancam akan cabut dari koalisi, wacana membangun poros ketiga, hingga menggunakan pengaruh Itjima Ulama yang seolah-olah forum netral untuk merekomendasikan Salim Segaf sebagai wakil.
Taktik menggunakan forum Itjima itu sebenarnya sudah sempurna, mencalonkan hanya 2 nama: Abdul Somad dan Salim Segaf.
Ada yang sudah berhitung, Abdul Somad tidak berminat terhadap sistem demokrasi liberal. Abdul Somad akan menolak tawaran ini sebab tak mungkin dirinya menjadi Amir al-Mu'minin di "negeri thogut" dan memimpin administratur yang "jahiliah". Maka pilihan yang tersisa hanya Salim Segaf.
Sayang, Prabowo menolak sosok Salim Segaf. Dengan dalih demi persatuan, dimajukanlah sosok Sandiaga Uno, wakil Prabowo sendiri dalam struktur Dewan Penasihat Gerindra.
Saat itu begitu banyak orang yang sudah yakin PKS akan menarik diri dari koalisi.
Mengejutkan! Bukannya menarik diri, Presiden PKS Sohibul Iman justru bikin rasionalisasi yang sulit diterima nalar, mengangkat Sandiaga Uno sebagai santri yang ia sebut santri pos-islamisme.
Sulit dipastikan, untuk siapa sebenarnya Sohibul mengadaptasi istilah Asef Bayat itu. Untuk melegitimasi Sandiaga kah? Atau sebenarnya itu pembelaan diri Sohibul, bahwa pragmatisme PKS, menyerah kepada prinsip yang jadi demagog mereka selama ini adalah objektif, berbasis realitas post-islamism, berakhirnya era euforia terhadap simbol dan wacana Islam politik?
Hemat saya, di sinilah momen genting PKS. Keputusan Sohibul dan jajaran pimpinan PKS mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga yang sama sekali bukan "representasi umat" bertentangan dengan propaganda demagogi PKS sendiri, baik ke internal kadernya, pun ke masyarakat luas.
Namun saat itu para kader dan simpatisan PKS mungkin masih bisa bersabar sebab yakin dengan pertimbangan pragmatis lain: posisi cawapres ditukar dengan jabatan Wagub DKI Jakarta yang ditinggalkan Sandiaga.
Ini adalah pertukaran yang menguntungkan PKS. Jabatan Wagub, apalagi di DKI lebih menguntungkan dibandingkan cawapres sebab jabatan itu telah ada, sudah pasti, tak perlu lagi bersusah payah memperjuangkannya.Â
Sebaliknya posisi cawapres belum tentu akan berhasil menjadi wapres. Jika para petinggi PKS rasional dan percaya ilmu pengetahuan tentulah mereka paham sangat kecil kemungkinan kubu Prabowo memenangkan pemilihan presiden.
Setelah jeda waktu lama pasca penetapan capres-cawapres namun nasib jabatan Wagub belum juga jelas, keresahan di kalangan pimpinan dan kader PKS kuncup kembali. Apalagi ketika M. Taufik menyatakan hendak maju pula sebagai Wagub pengganti Sandiaga Uno.
Sohibul Iman coba menenangkan diri dan para kader PKS dengan menafsirkan tertawa Prabowo sebagai keberpihakan kepada PKS. Hingga kemudian terbukti penafsiran itu salah saat Prabowo menyatakan wewenang menentukan Wagub pengganti Sandiaga di kubu Gerindra ada di tangan M. Taufik.
Sikap para pemimpin PKS yang masih saja mempertahankan loyalitas kepada aliansi dengan Prabowo meski bertubi-tubi dikhianati tampak sebagai perendahan marwah kepemimpinan partai yang mengklaim diri sebagai partai umat.
PKS menjadi sekadar seperti ikan remora menempeli hiu Gerindra ke manapun. Namun simbiosis komensialisme PKS-Gerinda berkebalikan, adalah PSK yang tampak tidak mendapat apa-apa.
Kita bisa turut merasakan kepedihan hati para kader mula-mula PKS yang turut membangun partai ini, menyaksikan transformasinya dari gerakan tarbiyah menjadi alat politik legal formal, ternyata hanya untuk berakhir sebagai pelengkap stempel syarat pencaloan presiden.
Kedua, tenggelamnya politik dakwah, tergadai pragmatisme
Dalam pandangan saya, keresahan para kader akar rumput PKS ini bukan semata-mata terkait Sohibul, cs gagal memperjuangkan orang PKS sebagai cawapres, pun ketidakpastian jabatan Wagub DKI.
Persoalan utama terletak pada kegagalan kepemimpinan Sohibul Iman memajukan politik PKS dalam kancah pilpres.
Alih-alih menjalankan tugas sebagai partai dakwah, kepemimpinan Sohibul Iman justru terperosok kian jauh ke dalam pragmatisme. PKS tersedot dalam kecenderungan sentripetal konstelasi parpol. Ia menjadi hampir tak terbedakan dengan PAN, Gerindra, bahkan kian sulit dicari celah pemisahnya dengan ormas selevel FPI.
PKS menjadi tampak hanya sebagai pengembira. Bersorak-sorai di tepi lapangan bagi kemenangan Gerindra. Tak ada warna PKS dalam silang sengketa pernyataan-pernyataan politik yang saling ditembakan para kubu, tak terdengar lagi narasi khas PKS yang dulu sempat merebut ceruk hegemonik.
Pernyataan-pernyataan vulgar sentimen agama dalam politik itu bukan khas PKS. Itu malah lebih terdengar sebagai milik FPI.
Yang mengemuka ke publik bukan lagi narasi mewarnai demokrasi barat dengan nilai Islami eksklusif--yang inklusif sudah dikapling PKB sebagai tubuh politik NU-- yang menghormati keberadaan negara bangsa, melainkan menguatnya wacana khilafah Islamiah dan syariat vulgar versi HTI.
Kini bukan lagi replikasi wacana Al Bana yang kita dengar, sudah berganti gema utopia dan kebencian Taqiuddin yang berkumandang di mana-mana. Jangan salahkan publik awam jika menyangka PKS sama saja dengan HTI. Ya, yang tampak kemudian PKS menjadi seolah-olah tubuh taqiah HTI.
PKS gagal mengawinkan politik elektoral dengan dakwah. PKS gagal membangun wacana nilai-nilai dan prinsip demokrasi dan ekonomi Islam sebagai alternatif kegagalan kapitalisme dan demokrasi individual barat. Gagasan ini yang justru kini diadvokasi oleh Ma'ruf Amin bersama PKB dan PPP, lawan politik elektoral PKS.
Mulut para politisi PKS di panggung legal hanya seperti toa, mikrofonnya menempel di bibir orang-orang Gerindra. Di panggung bawah, orasi-orasi tokoh seperti Neno Warisman justru lebih mirip agitasi HTI, dan sering pula serupa FPI, tak lagi menyerupai propaganda kaum tarbiyah.
Gagasan-gagasan PKS lenyap, senyap dari panggung politik. Politik elektoral bagi PKS direduksi menjadi semata-mata ajang rebutan kursi. Tak ada lagi perang gagasan. PKS sudah membunuh dirinya sendiri.
Mungkinkah kondisi ini diselamatkan dengan mengganti kepemimpinan Sohibul Iman, cs?
Terlambat. PKS adalah gunung api tua yang meletus hebat. Material vulkanik yang dimuntahkannya telah melahirkan anak gunung yang bertambah besar, Garbi. PKS hanya hanya akan berakhir sebagai danau kepundan landai di kaki gunung baru.
Bagaimana jika Garbi (Anis Matta, cs) mengkudeta kepemimpinan PKS?
Sama saja. Sebab kegagalan menerjemahkan ideologi ke dalam pragmatisme politik elektoral hanya keruntuhan salah satu pilar. Ada 3 pilar lain yang juga runtuh, bahkan mendahului. Akan kita bahas dalam artikel lain.
Sumber:
- Kompas.com (31/10/2018) "Perebutan Kursi Wagub Berujung Ancaman PKS DKI pada Pilpres 2019"Â
- Kompas.com (10/08/2018) "PKS Klaim Berhak Isi Posisi Wagub DKI"Â
- Suara.com (27/07/2018) "Presiden PKS Sohibul Iman : Prabowo Bukan Muslim yang Taat.
- Rakyat Merdeka Online (27/07/208) "Sohibul Iman Mengancam Prabowo Subianto."
- Detik.com (24/10/2018) "'Angin Surga' dari Prabowo untuk M Taufik."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H