Kadang-kadang juga saya berpikir itu mungkin karena banyak orang Tionghoa, seperti lazimnya kawasan perdagangan tua di Nusantara. Orang-orang Tionghoa itu banyak yang bermarga Lay, termasuk yang mendirikan dan mengelola Klenteng di Kupang, Klenteng Lay yang dibangun pada 1865. Â Itu dugaan saya. Dulu.
Setelah lebih beradab (maksudnya lebih berpengetahuan), menjadi tahulah saya bahwa nama itu berasal dari nama leluhur orang Helong, suku yang tiba dari Pulau Seram dan dahulu mendiami wilayah yang kini disebut LLBK itu. Pimpinan mereka bernama Laibesi (Bisilisin). Rombongan Laibesi dan 30an keluarga Helong adalah gelombang kedua kedatanan orang-orang Pulau Seram di Kupang. Sebelumnya telah ada rombongan pertama yang dipimpin Laikopan.
"Lai" itu sebenarnya sapaan untuk tuan. Orang Timor dari wilayah Belu menyebutnya Rai. Orang Timor di wilayah lebih ke Barat menyebutnya Nai. Orang Helong mengucapkannya sebagai Lai. Ya, seperti kacang Turis yang berbeda pelafalannya: Turis-Tunis-Tulis.
Sebelum tergoda bicara terlalu banyak tentang sejarah pra-lintasan pribadi saya, saya ceritakan dulu tentang kawasan pertokoan LLBK ini.
Kini lihatlah kawasan dalam tangkap layar google map berikut
Ketika kecil dulu, jika hendak bikin potret diri, ayah membawa saya ke sini. Ada studio foto  terkenal dan mungkin terbesar di masa itu. Jika tak salah ingat namanya Roda Baru Photo.
Sekali yang saya ingat adalah ketika karnaval 17 Agustus. Saat itu saya masih Taman Kanak-Kanak. Ayah-Ibu membelikan saya seragam tentara untuk dikenakan saat karnaval. Saya berbaris bersama teman-teman se-TK, berparade, mulai dari Kantor Gubernur hingga ke kawasan Kota Tua ini. Lumayan juga untuk bocah 5 tahun, 4 km jarak tempuhnya.
Bubaran karnaval, saya berfoto di studio tadi. Saya ingat foto itu. Dalam balutan seragam tentara, saya tersenyum, ada lesung pipit-nya. Heh, sudah hilang lesung pipit itu. Saya tak lagi manis seperti masa taman kanak-kanak dahulu.
Kawasan kedua adalah blok yang dibentuk oleh Jalan Siliwangi dan Jalan Cendrawasih. Ruas Jalan Siliwangi adalah yang paling ramai.
Dahulu toko-toko di sana terlihat sangat besar. Namun setelah kawasan di Kuanino, di Selatan Kota Kupang mulai berkembang, toko-toko di LLBK menjadi tampak kecil. Dan ketika swalayan bermunculan di kawasan Oebufu yang dahulu hanya persawahan dan tempat "jin buang anak," toko-toko di LLBK seperti berubah menjadi sekumpulan rumah liliput yang gemetar ketakutan di pojok sunyi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!