Maka pekerjaan merenung pun menjadi berat. Andai soal ini bisa diserahkan ke Dilan saja, dan biarlah Milea duduk di samping saya, berceloteh tentang apa saja yang ia ingin saya tuliskan. Apa sih yang tidak untuk Milea.
Saya lantas teringat, bicara tempat dan diri berarti bicara sejarah. Begitulah yang biasanya terjadi ketika dirimu mewawancarai orang-orang di suatu desa, "Siapa kalian?"
Mereka akan bercerita kapan dan dari mana mereka datang, nenek moyang mereka tepatnya, tempat apa saja yang mereka singgahi.
Lihatlah, studi tentang komunitas akan selalu berisi tempat dan waktu. Memang begitu, sebab hakikat diri adalah akumulasi perjalanan hidup, sejak lalu hingga kini, dan harapan-harapan akan masa depan. Â Maka sejarah adalah kenangan yang terverifikasi---penyimpulan kolektif atas kenangan individu-individu---dan kenangan itu selalu terikat kepada tempat dan waktu. Tanyakan saja kepada Katon Bagaskara.
"Pulang ke kotamu (tempat) ... Masih seperti dulu (waktu) tiap sudut (tempat) ... di persimpangan (tempat) ..." dan seterusnya. Kita adalah kumpulan kenangan. Kenangan adalah waktu dan ruang. Maka kita adalah lintasan waktu dan ruang.
Itu sebabnya mengenali diri---komunitas adalah diri kolektif---selalu melibatkan studi topogeny. Kapan dan di mana mereka pernah berada sebelum menjadi kini yang di sini, dan sebelum ke depan entah di mana.
Kita adalah akumulasi sejarah yang mengkristal dalam kenangan. Sejarah adalah ruang dan waktu. Itu kata-kata kuncinya!
Bicara tentang tempat belanja yang jadi kenangan, saya memiliki satu, sebuah kawasan yang saya kira bukan milik kenangan saya seorang. Ia milik bersama, milik orang-orang Kupang yang lahir satu era pun masa sebelum saya.
Zaman dahulu di Kupang hanya ada dua kawasan perbelanjaan. Yang paling tua dan karena itu paling ramai adalah kawasan pertokoan di Kelurahan Lai-Lai Bissi Kopan, disingkat LLBK. Kelurahan LLBK ini yang kini dikenal sebagai "kota tua" Kupang.
Dulu saya selalu punya pertanyaan, mengapa kawasan itu dinamakan demikian, Lai-lai Bissi Kopan.
Saya sempat salah mendengar Bissi sebagai Besi. Saya lantas menduga, karena dialek Melayu Kupang menyebut "lagi" sebagai "lai", mungkin tempat itu dinamakan Lai-Lai "Besi" Kopan karena di sanalah bangunan-bangunan beton berdiri. Karena kota terus bertumbuh, bangunan-bangunan toko bermekaran, orang-orang dulu berkata penuh takjub, "ah, lai-lagi (lagi-lagi) besi kopan."