Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Rp 100 Juta untuk "Guru" Pancasila yang Bikin Pusing

31 Mei 2018   22:29 Diperbarui: 1 Juni 2018   22:55 3277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik soal besar remunerasi Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bikin pusing saja. Yang membuat pusing bukan kalangan yang mempertanyakan nominal 100-an juta itu melainkan orang-orang yang berpendapat mewajarkan nilai itu, yang berniat baik untuk menjelaskan tetapi penjelasannya justru kian bikin pusing, bahkan mengundang konflik.

Kebingungan dan silang pendapat ini seharusnya sudah beres andai saja Menkeu Sri menjelaskan dengan gamblang komponen-komponen remunerasi itu. Menutup-nutupi dengan kilah macam-macam hanya memperunyam kondisi dan berdampak liar melukai ketokohan para cendekia dan bijak bestari di DP-BPIP.

Pandangan bahwa Rp 100-an juta per individu Dewan Pengarah BPIP itu kelewat tinggi didasarkan kepada ketidaktahuan item-item apa saja yang dicakup oleh nominal demikian. Penjelasan yang Bu Sri sampaikan belum terang-benderang.

Inilah problem utamanya. Hal lain seperti kondisi krisis, kemiskinan rakyat, dan utang publik yang menumpuk hanya bunga-bunga argumentasi.

Tetapi sebelum saya sampaikan pendapat tentang apa saja informasi yang perlu Menkeu sampaikan kepada publik; ada baiknya saya buat dulu daftar model-model penjelasan yang membuat kita semakin pusing sehingga semoga tak perlu diulang-ulang terus.

Pertama, fallacy of dramatic instance dan mutasi kontradiksi
"DPR bergaji tinggi, hakim agung dan pejabat Bank Indonesia bergaji sangat tinggi, para menteri bergaji tinggi, ya pantaslah jika para anggota Dewan Pengarah PBIP juga bergaji tinggi."

Kesalahan berpikir seperti ini yang paling sering dijumpai dalam pernyataan orang-orang yang gerah oleh keingintahuan publik mengapa remunerasi Dewan Pengarah BPIP bisa mencapai Rp 100 juta.

Jika tidak disengaja, ini memang fallacy of dramatic instance. Seolah-olah jika pejabat tinggi lain bergaji tinggi, otomatis benar dengan sendirinya gaji Badan Pengarah BPIP juga tinggi.

Sungguh sayang jika profesor seperti Pak Mahfud yang saya idolakan kemudian juga terjebak berargumentasi dengan cara begini.

Tetapi jika disengaja, dalam arti si pembela tahu ini keliru namun tetap mengajukannya sebagai argumentasi maka hal ini patut diduga sebagai upaya mutasi kontradiksi.

Istilah mutasi kontradiksi saya pinjam dari para remaja yang belajar logika dialektik dan hukum perkembangan materi.

Kontradiksi yang pokok di dalam polemik remunerasi Rp 100 juta per bulan ini adalah antara kehendak publik agar biaya-biaya lembaga baru ini transparan berhadapan dengan ketidakjelasan informasi untuk apa saja remunerasi Rp 100 juta itu.

Masalah akan berakhir setelah ada kejelasan soal itu, setelah publik ngeh hitung-hitungnya, item apa diposkan berapa dan mengapa. Tetapi alih-alih menyelesaikan, sejumlah pihak justru memindahkan persoalan.

Orang yang bertanya mengapa bisa Rp 100 juta dijawab dengan mengapa tidak pertanyakan soal gaji DPR, gaji pejabat Bank Indonesia, dan pembesar-pembesar lain yang juga tinggi bahkan lebih tinggi gajinya.

Ini serupa maling yang sedang di-BAP polisi, ditanya mengapa mencuri ayam, malah menjawab si Jono yang kemarin mencuri kerbau belum ditangkap.

Mencuri ayam dan mencuri kerbau adalah sama-sama mencuri. Belum ditangkapnya pencuri kerbau tidak lantas membenarkan si pencuri ayam.

Si maling ayam mencoba mengalihkan kontradiksi, dari tindakannya yang melanggar hukum menjadi masalah polisi tidak adil dalam bertindak.

Serupa saja hal ini dengan kasus polemik "sertifikasi ulama" dalam artikel sebelumnya, "Sertifikasi Penceramah dan Penalaran Compang-camping Politisi."

Kedua, excuse atau argumentum ad misericordiam
Excuse maksudnya "try to justify" bukan dengan argumentasi yang benar tetapi dengan ngeles, memelas, atau menyalahkan pihak lain.

Excuse adalah bahasa gaul untuk argumentum ad misericordiam (appeal to pity). Ini bentuk cacat penalaran yang mengeksploitasi kemalangan, seolah-olah dengan itu hal yang dipersoalkan menjadi benar.

Ada dua bentuk excuse yang saya lihat muncul di media massa.

Pertama, Dewan Pengarah BPIP belum dibayar selama setahun. Menkeu Sri termasuk yang menyampaikan itu. Seolah-olah remunerasi yang dinilai besar ini adalah kompensasi dari setahun pengabaian hak Dewan Pengarah. Seolah-olah karena ini, mempertanyakan besarnya nominal remunerasi adalah dosa.

Padahal solusi yang tepat atas pengabaian hak itu adalah pembayaran secara rapel. 

Kedua, anggota Dewan Pengarah BPIP adalah para tokoh nasional, mantan pejabat terkemuka, dan sudah tua pula. Wajarlah jika digaji segitu. Mempertanyakan itu adalah bentuk tiadanya penghormatan kepada tokoh bangsa.

Beuh!

Hal ganjaran atas ketokohan dan kapasitas para tokoh di Dewan Pengarah ini sudah ada dalam pos tunjangan jabatan yang sebesar Rp 13an juta. Jika itu kita nilai kurang, sila dinaikkan lagi, bukan dengan jalan memindahkannya ke pos item yang sulit dibayangkan wujudnya.

Tiada yang mempersoalkan Rp 5 juta dan Rp 13 juta itu. Bahkan memang rendah sebab setara saja dengan gaji program manajer LSM.

Yang masih tanda tanya besar adalah setelah Rp 13 juta untuk tunjangan, Rp 5 jutaan untuk gaji pokok, Rp 4 juta untuk asuransi, untuk apa saja sisa yang Rp 78 juta itu? 

Biaya operasional kata Menkeu. Operasional yang bagaimana?

Ketiga, Argumentasi ad baculum dan ad hominem
"Remunerasi Rp 100 jutaan itu sudah pantas. BPIP itu sangat penting karena memerangi terorisme. Anda tidak mau kasus bom seperti di Surabaya terus terjadi, bukan? Atau jangan-jangan Anda tidak peduli pada kemalangan bangsa ini?"

Ini juga contoh jamak argumentasi dalam polemik remunerasi ini. Kalau tidak setuju angka Rp 100 juta, berarti terorisme terus terjadi. Ini fallacy argumentum ad baculum atau appeal to force!

Lebih buruk lagi yang kedua. Mempertanyakan ini berarti tidak mendukung pemberantasan terorisme. Shooting the messenger! Ini kesalahan berpikir yang berdampak paling jahat. Argumentum ad hominem.

Padahal, ya benar, terorisme harus diberantas. Ya! Salah satu jalannya adalah pencegahan lewat sosialisasi dan internalisasi Pancasila. Ya! Untuk itu perlu satu badan khusus seperti BP7 dulu. Ya! orang-orang yang bekerja di dalamnya perlu digaji setimpal dan didukung fasilitas-fasilitas memadai.

Berapa? Rp 100-an juta! Mengapa begitu? Dari mana sampai bisa demikian nominalnya?

Inilah problemnya, Om-Tante. Inilah yang belum jelas. Besar kecil nominal renumerasi itu bergantung kepada kejelasan apa dan mengapa item-item cakupannya.

Keempat, menjelaskan tetapi jauh dari jelas
Kita bertanya, ini Rp 100 juta untuk item apa saja, mengapa item-item itu perlu, mengapa jumlah per item begitu?

Politisi ketua parlemen menjawab, "APBN cukup, nggak jebol. Jadi sudah pas itu gaji segitu."

Menteri yang ketua partai menjawab, "Kerja BPIP itu berat. Lebih luas dari BP7, jadi gajinya pantas segitu."

Presiden dan para pejabat mengklarifikasi, "Rp 100 juta itu hak keuangan, gaji pokok hanya Rp 5 juta."

Pertanyaan kami butuh jawaban, butuh penjelasan, Rp 100 juta itu mencakup item apa saja. Yang Bapak-Ibu berikan itu pembenaran yang tidak menjawab pertanyaan. Ini serupa ignoratio elenchi. Tidak ketemu.

Sebenarnya sudah hampir jelas jika saja ...

Menteri Sri Mulyani sudah mulai pas ketika katakan dari Rp 100 juta itu hanya Rp 5 jutaan yang gaji pokok, Rp 13 juta tunjangan jabatan, Rp 4 juta asuransi kematian dan kecelakaan. Pak Makfud juga sudah mulai benar ketika katakan itu hanya salah pencatatan, salah kolom posting. Tidak semuanya gaji.

Persoalannya Pak Makfud kemudian malah ikuta-ikutan terjerat fallacy of dramatic instance, pakai bawa-bawa perbandingan gaji DPR, dan balik persalahkan para penanya mengapa tidak pertanyakan soal DPR.

Yang masih mengganjal sebenarnya adalah Bu Sri Mulyani belum menjelaskan berapa rician per item transportasi ke kantor, komunikasi, biaya pertemuan, dan dukungan kebiatan. Pos-pos tersisa yang masih kabur ini jumlah totalnya besar, masih sekitar Rp 78 juta.

Kedua, item biaya pertemuan dan dukungan kegiatan itu membingungkan. Maksudnya apa, bentuknya bagaimana?

Baiklah. Kita simpan dulu dua item terakhir sebagai misteri. Sekarang kita coba buat estimasi untuk pos komunikasi dan transportasi ke kantor.

Untuk komunikasi (internet dan telepon) paling banyak habisnya Rp 1 juta. Itu sudah puas-puasan telepon dan internet.

Untuk transportasi, karena Dewan Pengarah BPIP adalah pejabat, tentu bentuknya adalah sewa mobil include driver.

Mereka memang punya mobil dan driver sendiri. Tetapi setelah menjadi anggota Dewan Pengarah BPIP, transporasi mereka adalah konsekuensi dari pekerjaan dan karena itu menjadi tanggungan majikan (negara). Miris ya jika dibandingkan buruh. Tetapi ya begitulah.

Harga sewa mobil fortuner di Jakarta include driver sekitar Rp 900.000/24 jam. Untuk sebulan ada sekitar 20 hari kerja. Artinya harga kasar untuk transporasi Rp 18.000.000

Karena disewa jangka panjang, 3-6 bulan, biasanya harga sewa bisa discount hingga sisa 60% dari harga harian. Sehingga total sewa mobil untuk para anggota Dewan Pengarah kita perkirakan Rp 11 juta per bulan.

Jadi perkiraan item komunikasi dan transportasi sebesar Rp 12 juta. Anggaran yang tersisa masih Rp 66 juta per bulan.

Sampai di sini, problemnya yang Ibu Sri maksud biaya pertemuan itu apa?

Apakah uang duduk? Kan pertemuan sudah bagian dari pekerjaan. Untuk itulah para cendekia dan kaum bijak bestari ini mendapat gaji.

Atau maksud ibu konsumsi, sewa ruangan, dan fasilitas lain untuk pertemuan? Bukankah hal-hal seperti ini juga masuk dalam pos kegiatan, pos program?

Atau maksud ibu per diem saat kegiatan di luar kota? Ini juga masuk pos progam atau kegiatan, bukan dari operasional.

Lebih susah lagi membayangkan jika Dewan Pengarah bisa buat pertemuan sendiri di luar yang sudah teragendakan dalam program dan karena itu perlu didukung sangu agar bisa selenggarakan secara mandiri tanpa bantuan staf BPIP. Jadinya akan sama saja job desc Dewan Pengarah dengan eksekutif (Pak Yudi Latif) dan jajarannya.

Lalu item dukungan kegiatan itu makhluk apa? Apa semacam staf ahli dan sekretaris? Kan itu diambil dari staf BPIP yang pos gajinya sudah ada sendiri.

Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul, berkelebat, mengganggu, mengundang curiga sebab belum dijelaskan secara transparan.

Karena tidak transparan untuk apa dan mengapa, pantaslah orang berpikir Rp 100 juta itu kelewat besar.

Uang Rp 50.000 pun jika tidak jelas peruntukannya sama saja dengan pemborosan, kemahalan. 

Jadi hemat saya, supaya polemik ini segera berakhir, Menkeu Sri perlu segera menjelaskan kepada publik seterang-terangnya, ke pos-pos apa saja dan berapa nilai per pos dari anggaran sebesar Rp 100 juta dikurangi Rp 5 juta gaji pokok dikurangi Rp 13 juta tunjangan jabatan dikurangi Rp 4 juta asuransi.

Penting juga menjelaskan mengapa pos-pos itu ada dan dibebankan ke anggaran rutin individu Dewan Pengarah BPIP. Jadi problem utamanya bukan pada nominal, tetapi pada untuk apa saja dan mengapa nominal demikian itu. Jika terjelaskan dengan baik, masuk akal, dan bertemu rasa keadilan publik, nominal lebih besar pun tidak masalah.

Demikian. Yang turut bingung dan pusing,

Tilaria Padika

31052018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun