Atau maksud ibu konsumsi, sewa ruangan, dan fasilitas lain untuk pertemuan? Bukankah hal-hal seperti ini juga masuk dalam pos kegiatan, pos program?
Atau maksud ibu per diem saat kegiatan di luar kota? Ini juga masuk pos progam atau kegiatan, bukan dari operasional.
Lebih susah lagi membayangkan jika Dewan Pengarah bisa buat pertemuan sendiri di luar yang sudah teragendakan dalam program dan karena itu perlu didukung sangu agar bisa selenggarakan secara mandiri tanpa bantuan staf BPIP. Jadinya akan sama saja job desc Dewan Pengarah dengan eksekutif (Pak Yudi Latif) dan jajarannya.
Lalu item dukungan kegiatan itu makhluk apa? Apa semacam staf ahli dan sekretaris? Kan itu diambil dari staf BPIP yang pos gajinya sudah ada sendiri.
Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul, berkelebat, mengganggu, mengundang curiga sebab belum dijelaskan secara transparan.
Karena tidak transparan untuk apa dan mengapa, pantaslah orang berpikir Rp 100 juta itu kelewat besar.
Uang Rp 50.000 pun jika tidak jelas peruntukannya sama saja dengan pemborosan, kemahalan.Â
Jadi hemat saya, supaya polemik ini segera berakhir, Menkeu Sri perlu segera menjelaskan kepada publik seterang-terangnya, ke pos-pos apa saja dan berapa nilai per pos dari anggaran sebesar Rp 100 juta dikurangi Rp 5 juta gaji pokok dikurangi Rp 13 juta tunjangan jabatan dikurangi Rp 4 juta asuransi.
Penting juga menjelaskan mengapa pos-pos itu ada dan dibebankan ke anggaran rutin individu Dewan Pengarah BPIP. Jadi problem utamanya bukan pada nominal, tetapi pada untuk apa saja dan mengapa nominal demikian itu. Jika terjelaskan dengan baik, masuk akal, dan bertemu rasa keadilan publik, nominal lebih besar pun tidak masalah.
Demikian. Yang turut bingung dan pusing,
Tilaria Padika