Pertama, Dewan Pengarah BPIP belum dibayar selama setahun. Menkeu Sri termasuk yang menyampaikan itu. Seolah-olah remunerasi yang dinilai besar ini adalah kompensasi dari setahun pengabaian hak Dewan Pengarah. Seolah-olah karena ini, mempertanyakan besarnya nominal remunerasi adalah dosa.
Padahal solusi yang tepat atas pengabaian hak itu adalah pembayaran secara rapel.Â
Kedua, anggota Dewan Pengarah BPIP adalah para tokoh nasional, mantan pejabat terkemuka, dan sudah tua pula. Wajarlah jika digaji segitu. Mempertanyakan itu adalah bentuk tiadanya penghormatan kepada tokoh bangsa.
Beuh!
Hal ganjaran atas ketokohan dan kapasitas para tokoh di Dewan Pengarah ini sudah ada dalam pos tunjangan jabatan yang sebesar Rp 13an juta. Jika itu kita nilai kurang, sila dinaikkan lagi, bukan dengan jalan memindahkannya ke pos item yang sulit dibayangkan wujudnya.
Tiada yang mempersoalkan Rp 5 juta dan Rp 13 juta itu. Bahkan memang rendah sebab setara saja dengan gaji program manajer LSM.
Yang masih tanda tanya besar adalah setelah Rp 13 juta untuk tunjangan, Rp 5 jutaan untuk gaji pokok, Rp 4 juta untuk asuransi, untuk apa saja sisa yang Rp 78 juta itu?Â
Biaya operasional kata Menkeu. Operasional yang bagaimana?
Ketiga, Argumentasi ad baculum dan ad hominem
"Remunerasi Rp 100 jutaan itu sudah pantas. BPIP itu sangat penting karena memerangi terorisme. Anda tidak mau kasus bom seperti di Surabaya terus terjadi, bukan? Atau jangan-jangan Anda tidak peduli pada kemalangan bangsa ini?"
Ini juga contoh jamak argumentasi dalam polemik remunerasi ini. Kalau tidak setuju angka Rp 100 juta, berarti terorisme terus terjadi. Ini fallacy argumentum ad baculum atau appeal to force!
Lebih buruk lagi yang kedua. Mempertanyakan ini berarti tidak mendukung pemberantasan terorisme. Shooting the messenger! Ini kesalahan berpikir yang berdampak paling jahat. Argumentum ad hominem.