Dalam tiga tahun terakhir, sejak 2015, dan lebih gencar lagi pasca terbitnya PP 13/2016, Bulog telah mengambil sejumlah terobosan di lini bisnis. Setelah cukup sukses dengan pengembangan kemitraan distribusi berupa Rumah Pangan Kita, kini Bulog gencar  branding produknya dengan jenama "kita." Bahkan sebentar lagi ada Beraskita dalam kemasan 200 gram.
Bagaimana menilai terobosan ini dari sudut pandang pokok keberadaan Bulog sebagai lembaga penjamin ketahanan pangan? Bagaimana dengan tugas tradisional terkait PSO-nya? Apa saja manfaatnya? Apa saja yang perlu ditambahkan atau dibenahi dari terobosan ini?
Landasan Bulog Berbisnis
Kita mulai dengan diskusikan landasan dari terobosan ini. Ini penting sebab ada kekhawatiran langkah ini akan menjerumuskan Bulog kian jauh beroritentasi bisnis dan meninggalkan tanggung jawab utama menciptakan dan menjaga Ketahanan Pangan.
Bulog yang sekarang adalah Bulog yang baru, BUMN berbentuk Perusahaan Umum berdasarkan PP 13/2016. Jadi lupakan Bulog yang lalu-lalu, yang teramat panjang usianya itu. Ini Bulog baru, Bulog yang berlandaskan PP 13/2016.
PP 13/2016 menetapkan maksud dan tujuan Bulog untuk untuk turut melaksanakan dan menunjang kebijakan dan program Pemerintah dan Pemda di bidang logistik pangan serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan yang sehat.
Jadi selain ruang lingkup kerjanya di bidang logistik pangan, PP 13/2016 juga mengamanatkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Perusahaan yang sehat adalah perusahaan yang membukukan keuntungan atau setidaknya berhenti menetek dari APBN.
Untuk maksud dan tujuan itu, PP 13/2016 mengatur jenis usaha Bulog meliputi  produksi, perdagangan, jasa, ditambah kegiatan lain yang secara finansial mendukung kegiatan usaha utama.
Rumah Pangan Kita (RPK) termasuk bidang usaha perdagangan (perdagangan hasil budi daya dan hasil industri pangan beras dan pangan lainnya serta turunannya). Sementara produk-produk yang kini dipasarkan dengan jenama "kita" adalah wujud konkrit dari kegiatan usaha di bidang produksi (budi daya dan industri pangan beras dan pangan lain serta turunannya).
Apakah bentuk usaha itu akan kontraproduktif dengan tugas dan tanggungjawab Bulog yang diamanatkan oleh perundang-undangan?
PP 13/2016 mengamanatkan Bulog bertugas dan bertanggung jawab mengamankan harga pangan pokok beras di tingkat produsen dan konsumen; mengelola cadangan pangan pokok beras pemerintah; menyediakan dan mendistribusikan pangan pokok beras kepada golongan masyarakat tertentu; dan melaksanakan impor beras dalam rangka pelaksanaan tiga tugas pertama.
Empat tugas ini adalah tugas dan tanggung jawab tradisional Bulog. Sudah demikian sejak dahulu tugas dan bertanggung jawabnya.
Yang baru adalah PP 13/2016 menambahkan tugas dan tanggung jawab Bulog untuk mengembangkan industri berbasis beras, termasuk produksi padi/gabah serta pengolahan gabah dan beras; dan mengembangkan pergudangan beras.
Saya baca beberapa artikel yang ditulis di Kompasiana yang cenderung memberikan informasi keliru bahwa seolah-olah Bulog sudah sama sekali mengganti mekanisme operasi pasar dan distribusi beras bantuan dengan mekanisme baru RPK yang berbasis pendekatan bisnis. Tidak. Itu informasi yang keliru.
Produk-produk yang dipasarkan di RPK terutama adalah produk-produk komersial beras, daging, gula dan minyak goreng, yaitu produk-produk premium yang selama ini dimanfaatkan masyarakat kelas menengah dan menengah atas. Sementara produk kategori medium, selain dipasarkan di RPK, juga---seperti dahulu---masih disalurkan dengan mekanisme operasi pasar murni.
Sepajang Januari-Mei 2018, Bulog Divre Jawa Tengah sudah menyalurkan 33 ribu ton beras dalam operasi pasar. Rata-rata 3-5 ton cadangan beras pemerintah digelontorkan per hari.(1) Untuk tingkat nasional, hingga 25 Mei 2018, Bulog telah menggelontorkan 305.190 Ton beras dalam operasi pasar. Sementara penyerapan beras mencapai 825.765 Ton.(2)
Jadi hingga kini Bulog tetap melaksanakan tugas dan tanggungjawab PSO (public service obligation) untuk menjaga stabilitas harga pangan, terutama beras di tingkat konsumen (operasi pasar murni CBP) berdasarkan HET dan di tingkat produsen (penyerapan beras petani) berdasarkan HPP.
Manfaat-Manfaat
Rumah Pangan Kita, kemitraan distribusi pangan yang dikembangkan Bulog dengan rakyat, koperasi, dan ormas banyak manfaatnya. Demikian pula produk-produk premium Beraskita, Maniskita, Terigukita, dan produk lain berjenama "kita" itu.
Manfaat pertama tentu saja menjamin ketersediaan pangan di pasar. Keberadaan RPK yang menjangkau---jika kelak terpenuhi---hingga tingkat Rukun Tetangga dapat memastikan itu.
Kehadiran beras premium di RPK akan menurunkan harga sebab selama ini penjualan beras Premium di supermarket dikenakan listing fee sebesar 30 persen. Di RPK marjin ditentukan Bulog dan tak sebesar itu.
Selain lebih murah, pangan premium Bulog dapat menjamin keamanan pangan sebab pemasaran melalui jaringan yang teradministrasi baik (RPK) dapat meminimalisir pengoplosan dan pengolahan yang tidak bertanggungjawab.
Yang kedua, kerja sama ini mendorong tumbuhnya kewirausahaan di tengah masyarakat. Hal ini berdampak kepada pertumbuhan ekonomi.
Yang ketiga adalah manfaat bagi Bulog sendiri. Terobosan bisnis ini meningkatkan pendapatan Bulog dan pada ujungnya meningkatkan penerimaan negara sebab Bulog adalah BUMN.
Terkait manfaat keempat ini, jenama "kita" adalah pilihan cerdas. Itu mengingatkan rakyat bahwa produk pangan yang ia beli adalah miliknya, milik kita, rakyat Indonesia. Tentu saja begitu sebab pendapatan Bulog adalah penerimaan negara yang ujungnya akan kembali kepada rakyat dalam bentuk belanja pembangunan.
Terobosan Yang Kurang Berani
Di luar semua kebaikan itu, ada sejumlah catatan yang kiranya perlu kita perbincangkan. Saya nilai terobosan ini masih kurang berani atau kurang komprehensif. Ada tiga hal yang saya sampaikan pada kesempatan ini.
Pertama, hingga saat ini Bulog masih menyandarkan pelaksanaan PSO stabilisasi harga pangan strategis di level konsumen melalui mekanisme tradisional operasi pasar murni yang bersifat reaksioner, menunggu gejolak pasar.
Kita tahu bahwa Menteri Perdagangan selalu dibikin pusing oleh perbebatan HET dengan pedagang. Belum lama ini Mendag mengancam akan melakukan pemeriksaan terhadap pedagang yang menjual di atas HET.Â
Perdebatan-perdebatan berulang seperti ini seharusnya tidak terjadi jika stabilisasi harga beras dan pangan strategis lain dilakukan kontinyu melalui RPK. Jadi tak perlu tunggu momentum baru Bulog gelontorkan cadangan beras pemerintah ke pasar.Â
Mekanisme stabilisasi harga melalui operasi pasar murni juga kurang efektif. Selain karena ada jeda antara kelangkaan---yang berdampak kenaikan harga---dengan respon Bulog, operasi pasar murni menuntut biaya lebih karena harus melibatkan aparat keamanan untuk memastikan penerapan HET.
Dengan adanya RPK, Bulog cukup pastikan beras medium selalu tersedia di etalase RPK-RPK. Ketika harga beras medium dan produk pangan strategis lain naik di pedagang umum, masyarakat tinggal beralih ke RPK. Secara alamiah, mekanisme ini mencegah distributor dan pedagang umum menaikkan harga.
Kebijakan HET menjadikan beras berstatus administered price. Dengan begitu Bulog tidak perlu khawatir penumpukan beras medium di RPK akan mengerek harga naik. Pengontrolan pemberlakuan HET melalui RPK akan mudah sebab RPK yang nakal dapat segera diberi sanksi berupa pengurangan kuota hingga penghentian kerjasama.
Keuntungan lain adalah RPK dapat difungsikan sebagai perluasan gudang Bulog.Â
Gudang pada prinsipnya adalah manajemen stok. Cadangan beras pemerintah tidak harus semuanya disimpan dalam gudang Bulog. Beras dan produk pangan lain yang dipajang di etalase RPK juga pada dasarnya cadangan, cadangan yang stand by di pasar. Tinggal administrasinya saja diperketat agar data riil ketersediaan pangan terus terpantau.
Dengan itu, ketika Bulog harus menyerap beras dari petani, kapasitas gudang yang terbatas tidak perlu lagi menjadi persoalan. Apalagi, dengan menjadikan etalase RPK sebagai perpanjangan gudang, keamanan selama penyimpanan---dari kerusakan oleh hama-- dan penerapan fifo (first in first out) lebih terjamin.
Hal kedua yang tampak belum jadi perhatian Bulog adalah terobosan kerjasama di lini hulu.
Seharusnya Bulog juga bisa mendorong kerjasama di lini hulu dengan lembaga-lembaga di akar rumput, BUMDes misalnya.
Kerjasama dengan BUMDes bisa berupa kemitraan penyediaan beras premium dan medium serta produk pangan strategis lain. Peran grading untuk menghasilkan beras premium dan medium, bila perlu hingga pengemasan, tidak perlu Bulog lakukan sendiri.Â
Kerjasama ini berdampak pertumbuhan industri perberasan tidak hanya di hilir perdagangan tetapi juga di hulu produksi. Bukankah ini salah satu amanat PP 13/2016?
Pelibatan BUMDes juga membuat industri perberasan lebih efisien sebab dapat memotong jarak logistik.
Contohnya begini. Jika grading hingga pengemasan dilakukan oleh BUMDes Desa A yang terletak di Kecamatan B. Pasokan bagi RPK-RPK di Kecamatan B tidak perlu didatangkan dari gudang subdrive Bulog yang jauh---dan karena itu makan biaya pengangkutan---melainkan cukup berasal dari Bumdes di Desa A.
Kelemahan ketiga adalah terobosan Bulog belum menyentuh ranah kedaulatan pangan.
Memang ini bukan salah Bulog. PSO Bulog hanya terkait ketahanan pangan, bukan kedaulatan.
Ini  penyakit pemerintah semenjak dulu kala, antara satu kebijakan dengan kebijakan lain tidak sinergis.
UU Pangan telah mengadopsi prinsip-prinsip Kedaulatan Pangan tetapi dalam implementasi---seperti penugasan Bulog---hal itu diabaikan.
Padahal seharusnya bisnis Bulog bisa berjalan dengan mempertimbangkan pula aspek kedaulatan pangan, misalnya dengan mewadahi pula produk pangan pokok non-beras.
Salah satu prinsip kedaulatan pangan adalah orang mengonsumsi apa yang cocok dibudidayakan di wilayahnya. Timor bukan tempat yang cocok bagi beras yang butuh banyak air itu. Timor yang kering lebih cocok mengonsumsi jagung dan Sorgum.
Ketika Bulog hanya menyediakan beraskita di RPK-RPK, kemudahan masyarakat mengakses beras akan memperparah kondisi monokultur konsumsi pangan. Artinya Bulog melanjutkan berasnisasi sejak Orde Baru. Ini buruk, bukan saja bagi kedaulatan pangan, tetapi juga bagi ketahanan pangan jangka panjang.
Karena itu, sebagai penutup artikel ini, saya usulkan kepada Pak Budi Waseso sebagai Kabulog. Pak Buwas, tolong donk untuk di Timor, jangan cuma ada Beraskita. Jual juga Jagungkita dan Sorgumkita.
Mudah kok. Kan Bapak tinggal kerjasama dengan BUMDes-BUMDes sebagai pemasok.
Jika Pak Jokowi dan para menteri disibukkan dengan begitu banyak aspek pembangunan sehingga lupa soal ini, mungkin Pak Buwas yang masih segar sebagai Kabulog bisa berinisiatif.
***
Tilaria Padika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H