Satu kilometer sebelum rumah Tuan Huber kondisi jalan sangat buruk. Pak supir harus sangat berhati-hati agar jangan samai as mobil menghantam tonjolan bebatuan. Mobil bergerak sangat lambat.
Karena sudah tak sabar menyampaikan kabar gembira kepada istri, Tuan Huber minta turun.
"Saya turun di sini saja. Kasihan Pak, bisa rusak mobil ini."
Pak Supir setuju. Ia membalik arah mobilnya menuju tujuan asli. Pak Huber berlari kecil ke rumah.
"Mama, coba periksa ayam di sangkar. Lihat jika sudah ada telur. Ambilkan ke sini."
"Untuk apa? Tadi pagi ada yang bertelur. Mau ditetaskan," kata istri.
"Uang itu memang untuk kita. THR itu tunjangan hari raya. Sekarang ambilkan telur itu. Kita doa syukur."
Dalam adat Manggarai, doa syukur biasanya disertai ayam atau telur ayam sebagai korban. Ini seperti kebiasaan zaman dulu ketika bentuk doa kepada Tuhan disertai hewan korban. Adat Manggarai pun demikian.
"Besok potong ayam yang paling besar. Undangan rumah depan dan samping. Kita makan bersama sebagai bentuk syukur." Merasa tidak cukup sekedar berdoa, Tuan Huber akan adakan syukuran.
"Jadi kita wajib bersyukur, berterima kasih kepada Tuhan dan leluhur atas setiap rejeki yang kita peroleh. Juga, kita perlu merayakan itu dengan mengundang tetangga makan bersama. Bukan untuk pamer atau berfoya-foya. Itu bentuk syukur juga, bahwa ada hak orang lain dalam rejeki yang kita terima." Tuan Huber menutup ceritanya dengan nasihat kepada kami yang asyik mendengarkan.
Ah, orang-orang tua dari kampung ini sungguh bijak. Jika bukan dengan pantun, mereka gunakan cerita untuk sampaikan nasihat. Dengan begitu yang mendengarkan dapat mencecap makna tanpa merasa digurui. Luar biasa.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!