Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tunjangan Hari Raya Tuan Huber

6 Juni 2018   03:45 Diperbarui: 19 Juni 2018   05:32 1439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari kabarburuh.com

Saya tak punya pengalaman terkait THR yang menarik untuk diceritakan. Ya Om-Tante tahulah,  saya petani. Ketika masih buruh pun kuli serabutan. Meski pernah dikontrak sebagai kuli untuk tiga tahun, saya tak punya hak atas THR sebab bersatus konsultan. Hiks. Karena itu saya ceritakan saja pengalaman orang.

Tuan Huber namanya. Ia bekerja sebagai tenaga keamanan pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi  (PLTP) Ulumbu di Manggarai. Ini kisah dua puluhan tahun lampau, saat PLTP itu masih dalam tahap awal pengembangan oleh kontraktor asing.

Ketika itu menjelang hari raya. Natal. Tuan Hubert dipanggil staf bagian keuangan. Di dalam ruangan, Tuan Hubert menerima amplop dan disuruh tanda tangan tanda terima.

"Ini punya Bapak," kata staf keuangan.

Tuan Huber melakukannya tanpa banyak tanya meski pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepala. Amplop apa ini? Bukankah kini belum saatnya gajian? Mengapa terasa lebih tebal dari biasanya?

Tetapi ah, sudahlah. Mungkin karena menjelang hari raya, gaji diberikan lebih awal. Baik juga perusahaan ini, memikirkan kebutuhan belanja untuk hari raya. Demikian Tuan Huber menenangkan kecamuk tanya di benak.

Selanjutnya Tuan Huber kembali bekerja seperti biasa. Pekerjaannya memperhatikan kendaraan dan orang-orang yang keluar masuk kompleks PLTP, memastikan semuanya baik-baik saja.

Bubaran kerja Tuan Huber kembali ke rumah. Ia berjalan kaki saja. Ketika itu jasa ojek belum banyak tersedia di sana. Maklum, PLTP itu terletak di pedalaman.

Sehari-hari Tuan Huber jalan kaki pulang-pergi kantor. Demikianlah umumya orang-orang desa. Jarak 4 kilometer adalah dekat saja bagi mereka.

Setiba di rumah, Tuan Huber serahkan amplop yang diterimanya tadi kepada istri.

"Cepat sekali gajian bulan ini," komentar istri sembari menyimpan amplop itu di lemari. Ia lalu menyiapkan santap malam untuk Tuan Huber. Ikan cara--ikan asin khas Manggarai yang enak sekali--, sayur labu, dan tak lupa sambal daun kemangi.

Seusai makan, Tuan Huber minta istri periksa isi amplop sebab ia penasaran mengapa terasa lebih tebal.

Suami-istri itu terkejut. Uang di dalam amplop itu Rp 750.000, tiga kali lipat honor bulanan Tuan Huber.

"Ini pasti keliru. Namanya sudah benar. THR, Tuan Huber. Tetapi jumlahnya terlalu banyak. Pasti amplopnya tertukar," kata Tuan Huber kepada istri.

"Kalau begitu cepat kembalikan. Nanti dirimu disangka tak jujur," seru istrinya.

Maka bergegas Tuan Huber kembali ke kantor. Jarak 4 kilometer kembali ditempuhnya, kali ini dengan sesekali berlari kecil.

Beberapa kali Tuan Huber tersandung sebab baterai senter yang ia bawa sudah aus, hanya menghasilkan cahaya temaram.

Tuan Huber lupa jika staf keuangan, ibu yang tadi memberinya amplop tidak tinggal di mess karyawan sebab bukan lagi bujangan. Ibu itu, bersama keluarganya yang datang dari Jawa mengontrak rumah penduduk yang entah di mana.

Tuan Huber menemukan para pekerja sedang beristirahat dan bermain biliar.

"Eh, Pak Huber, ke sini dulu, bantu saya." Salah seorang kepala bagian memanggilnya. Rupanya para petinggi sedang bermain kartu. Berjudi tepatnya.

Kepala bagian itu minta Tuan Huber menjadi joki. Artinya Tuan Huber yang bermain, uang taruhan berasal dari si boss. Jika menang, uang pecahan besar, Rp 20.000 ke atas diambil boss. Tuan Huber boleh memiliki yang pecahan Rp 10.000 ke bawah.

"Betapa beruntung diriku," Tuan Huber membatin.

Sebenarnya Tuan Huber ingin sekali bertanya soal THR itu. Tetapi ia kemudian berpikir  jika THR itu sebenarnya bukan namanya, melainkan sesuatu yang lain. Ia ingin bertanya apa maksudnya tetapi malu akan dianggap orang bodoh. Padahal boss-boss itu tahu jika ia termasuk tokoh masyarakat. Tidak cantik rasanya jika tokoh masyarakat kurang tahu sesuatu, termasuk soal THR itu.

Maka ditahanlah niat bertanya.

Setelah boss-boss lelah dan berhenti bermain kartu, Tuan Huber pamit pulang. Pertanyaan yang tergesa-gesa dibawanya dari rumah tadi kini dibawa kembali. Masih menjadi beban yang memberati kepala dan hatinya.

Belum sekilo meninggalkan kompleks, mobil kantor berhenti. Supir, hanya seorang mengajak Tuan Huber naik.

"Ayo, saya antar Pak Huber."

"Aduh. Pak baik sekali hari ini. Tidak rugi bensin?"

"Jangan kuatir. Saya baru terima THR tadi. Tiga kali gaji. Pak Huber sudah terima?"

Tuan Huber kaget. Aih, jadi THR itu memang tiga kali gaji dan dibagikan ke semua pekerja. Tetapi karena ingin tahu apa sebenarnya barang itu, ia pura-pura bertanya. "THR?"

"Iya, Tunjangan Hari Raya. Kan sudah mau Natal ini. Pak Huber belum terima?"

"Oh, tadi saya dapat amplop. Saya belum lihat isinya apa. Rupanya itu THR."

Satu kilometer sebelum rumah Tuan Huber kondisi jalan sangat buruk. Pak supir harus sangat berhati-hati agar jangan samai as mobil menghantam tonjolan bebatuan. Mobil bergerak sangat lambat.

Karena sudah tak sabar menyampaikan kabar gembira kepada istri, Tuan Huber minta turun.

"Saya turun di sini saja. Kasihan Pak, bisa rusak mobil ini."

Pak Supir setuju. Ia membalik arah mobilnya menuju tujuan asli. Pak Huber berlari kecil ke rumah.

"Mama, coba periksa ayam di sangkar. Lihat jika sudah ada telur. Ambilkan ke sini."

"Untuk apa? Tadi pagi ada yang bertelur. Mau ditetaskan," kata istri.

"Uang itu memang untuk kita. THR itu tunjangan hari raya. Sekarang ambilkan telur itu. Kita doa syukur."

Dalam adat Manggarai, doa syukur biasanya disertai ayam atau telur ayam sebagai korban. Ini seperti kebiasaan zaman dulu ketika bentuk doa kepada Tuhan disertai hewan korban. Adat Manggarai pun demikian.

"Besok potong ayam yang paling besar. Undangan rumah depan dan samping. Kita makan bersama sebagai bentuk syukur." Merasa tidak cukup sekedar berdoa, Tuan Huber akan adakan syukuran.

"Jadi kita wajib bersyukur, berterima kasih kepada Tuhan dan leluhur atas setiap rejeki yang kita peroleh. Juga, kita perlu merayakan itu dengan mengundang tetangga makan bersama. Bukan untuk pamer atau berfoya-foya. Itu bentuk syukur juga, bahwa ada hak orang lain dalam rejeki yang kita terima." Tuan Huber menutup ceritanya dengan nasihat kepada kami yang asyik mendengarkan.

Ah, orang-orang tua dari kampung ini sungguh bijak. Jika bukan dengan pantun, mereka gunakan cerita untuk sampaikan nasihat. Dengan begitu yang mendengarkan dapat mencecap makna tanpa merasa digurui. Luar biasa.

Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika

***

Tilaria Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun