Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan Buruk Bagi Perekonomian, Mitos atau Fakta?

2 Juni 2018   04:00 Diperbarui: 2 Juni 2018   11:01 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cuplikan layar arabnews.com

Tiga tahun lalu saya menemani seorang bule Inggris yang hendak menawarkan bantuan melakukan feasibility study projek pembangunan fasilitas kota yang akan dihubungkan dengan lembaga pendanaan internasional.

Sebelum bertemu walikota besoknya, kami berdua sempatkan diri berdiskusi dengan sejumlah orang dari lembaga nirlaba non-pemerintahan untuk mendapatkan masukan pendapat awal projek seperti apa yang dibutuhkan masyarakat kota.

Di dalam mobil saya sampaikan agenda hari ini hanya akan sampai jam 4. Ia bertanya kenapa dan saya jawab sebab sekarang bulan puasa.

Si Om Bule mengeluh.Yah, di Asia begitu banyak perayaan hari raya yang membuat orang-orang tidak bekerja maksimal. Ia ceritakan kondisi di Singapura, tempat kedudukan kantor perwakilannya. Katanya banyak hari libur di Singapura dan ia jadi sulit bekerja.

Ia juga ceritakan kondisi lebih parah di Filipina, tempat kantor pusatnya. Hampir setiap kota memiliki santo pelindung. Di saat perayaan santo pelindung itu, kota libur.

"Everyday is a holyday," katanya. Mimik dan gesturnya menunjukkan jika itu satir. Benar saja, "Bagaimana ekonomi bisa tumbuh jika orang-orang tak bekerja," lanjutnya mengeluh.

Si Om Bule mewakili pandangan bahwa hari raya, termasuk Ramadan memangkas produktivitas pekerja karena jam kerja berkurang. Turunnya produktivitas berdampak kepada pelambatan ekonomi sebab lebih sedikit output yang dihasilkan. Hal ini seperti sudah jadi mitos. Mitos di sini maksudnya ide yang salah tetapi dipercaya sacara umum.

Rupanya sudah banyak orang membahas ini. Ada Om Muddassar Ahmed yang menulis "Economics: The myth of Ramadan's low productivity" di patheos.com; Om Rumi Hasan, "The costs of Ramadan need to be counted" dalam theguardian.com; dan artikel yang ditulis admin Global Risk Advisor, "The Economics of Ramadan."

Aslinya Om Rumi menulis tentang dampak puasa bagi emak hamil. Tetapi ia banyak menyinggung data-data ekonomi. Ia bilang, hanya satu kata untuk kondisi ekonomi masa puasa di negara Islam: Melambat! Yang ia maksud ekonomi melambat adalah lebih sedikit pekerjaan yang diselesaikan.

Om Rumi mempersenjatai posisinya dengan bukti sejumlah artikel berita. Pada Juli 2013 Arab News menulis, produktivitas turun 35% - 50% gara-gara pemangkasan jam kerja dan perubahan gaya hidup. Demikian pula survei Dinar Standard yang memperkirakan di negara-negara OKI, jam kerja rata-rata berkurang 2 jam per hari selama Ramadan.

Om Rumi juga singgung survei ekonom Campante dan Yanagizawa-Drott yang menunjukkan bahwa Ramadan secara signifikan berefek negatif terhadap pertumbuhan output.

Kemudian ia simpulkan jika ada 21 hari kerja selama Ramadan berarti ekonomi kehilangan 42 jam kerja setahun yang sama dengan kehilangan 2,5% output per tahun.

Saya coba melacak ke riset Om Campante dan Yanagizawa-Drott yang kesimpulannya dipakai sebagai bahan argumentasi Om Rumi. Judulnya "Does Religion Affect Economic Growth and Happiness."

Saya hanya membaca sepintas---baca tanpa merenungkan, tanpa menguji---jadi mungkin kesimpulan saya akan keliru. Tetapi dari yang saya baca, riset Campante dan Yanagizawa hanya berfokus pada faktor berkurangnya jam kerja dan menurunnya produktivitas marginal tenaga kerja. Selain soal kepuasan individual warga negara terkait aktivitas rohani.

Hipotesisnya: karena gY=gA+gL+ (1)gK, atau pertumbuhan tahunan (gY) ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas(gA), supply tenaga kerja (gL), dan kapital (gK), maka puasa Ramadan akan mengurangi pertumbuhan sebab produktivitas marginal tenaga kerja berkurang. 

Mereka lalu membandingkan pertumbuhan ekonomi dari serangkaian tahun di sejumlah negara muslim yang dihubungkan dengan lamanya waktu puasa pada tahun dan negara bersangkutan. Kesimpulannya adalah lama waktu puasa memang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Hemat saya, yang bukan ahli ekonomi ini, kelemahan dua om peneliti ini adalah mengabaikan kemungkinan peningkatan produktivitas pada bulan-bulan sebelum Ramadan---pabrik-pabrik, terutama sektor garmen dan produk makanan yang laris saat Ramadan lembur---untuk mengejar produksi guna mengimbangi kenaikan permintaan saat ramadan. Mereka juga mengabaikan terciptanya lapangan kerja baru di sektor informal---saya singgung hal ini dalam artikel "Perkecil Mudarat Perbanyak Maslahat Pasar Dadakan Ramadan"--selama Ramadan.

Di luar riset Campante dan Yanagizawa, Om Rumi hanya menggunakan informasi soal berkurangnya jam kerja. Ini adalah kesimpulan yang dihasilkan dari penalaran deduktif bahwa pertumbuhan ekonomi (g) ditentukan oleh produktivitas (A) dan jam kerja (L). Maka pengurangan jam kerja (gL) dan pengurangan produktivitas (gA) otomatis berdampak negatif terhadap laju pertumbuhan (gY).

Hal serupa pada data dan informasi dalam artikel Om Muddassar Ahmed. Ia menyinggung informasi Ketua Asosiasi Kontraktor Uni Emirat Arab soal turunnya produktivitas pekerja muslim. Demikian juga informasi yang disampaikan analis ekonomi Hussam Ayesh soal turunnya produktivitas di sektor publik dan swasta hingga 50 persen; atau hasil wawancara Kuwait News Agency (KUNA) tentang turunnya produktivitas buruh di Dubai yang mencapai 20-40 persen.

Mayoritas data dan informasi yang mendasari pandangan bahwa Ramadan berdampak buruk bagi perekonomian adalah terkait pemotongan jam kerja dan produktivitas tenaga kerja.

Coba kita lihat berita Arab News yang disinggung Om Rumi di atas. "Businesses want more working hours in Ramadan," judulnya, terbit 12 Agustus 2013.

Tampak jelas sikap para pengusaha yang menginginkan kebaikan maksimum bagi mereka, cenderung mau menang sendiri. Para pengusaha Arab Saudi itu menuntut penambahan jam kerja (atau jam kerja tidak dikurangi) selama Ramadan sebab permintaan sedang berada pada puncaknya.

Mereka bersuka cita atas barang-barang yang lebih laris selama Ramadan tetapi tidak legawa keuntungannya sedikit berkurang oleh pemotongan jam kerja buruh. Mereka tak ingin upah buruh tetap dibayarkan sama meski jam kerja berkurang. Konsep produktivitas marginal tenaga kerja memang berlandaskan pada perbandingan biaya tenaga pekerja terhadap output.

Inilah kelemahan dari pandangan Ramadan buruk bagi perekonomian yang  hanya dilandaskan pada berkurangnya jam kerja.

Padahal perekonomian bukan sekedar jam kerja. Indikator lain yang harus dilihat adalah meningkatnya belanja. Ketika Ramadan, belanja rumah tangga meningkat. Ini tak dapat dibantah sebab di Indonesia misalnya, setiap Ramadan BI meningkatkan jumlah uang beredar. Peningkatan jumlah uang beredar itu untuk penuhi kebutuhan cash masyarakat yang berbelanja selama Ramadan dan Idul Fitri.

Artikel Global Risk Review menyebutkan hasil survei Nielsen Indonesia pada 2010 yang menunjukkan pertumbuhan 9,2 persen penjualan barang konsumsi. Pembelinya berasal dari seluruh level ekonomi, dari yang miskin hingga kaya raya. Informasi serupa datang dari Bank Sentral Arab Saudi.

Dampak positif Ramadan bagi perekonomian bahkan tidak hanya di sektor riil. Global Risk Review menyebutkan hasil riset ekonom Universitas Leicester pada 2011 bahwa saat Ramadan, tingkat imbal hasil saham di negara-negara Muslim selama Ramadan naik 9 kali lipat dan pergerakan saham kurang volatil.

Kondisi ini memunculkan istilah "Ramadan effect." Istilah Ramadan effect digunakan terhadap kondisi meningkatnya keberanian investor mengambil risiko membeli lebih banyak saham oleh karena emosi positif terkait hari raya keagamaan, bukan hanya Ramadan. Kalau mau baca lebih detil, coba cari "Fastprofits: Investor sentiment and stock returns during Ramadan." 

Jadi jika Om-Tante bertanya kepada saya, apakah Ramadan berdampak buruk bagi perekonomian itu mitos atau fakta, saya jawab itu mitos. Tetapi saya akan tambahkan, itu mitos yang berangkat dari sudut pandang para majikan yang mau menang sendiri, yang mau bersorak-sorai oleh tingginya permintaan di saat Ramadan, tetapi tidak sudi jika buruh-buruh berkurang 1-2 jam saja waktu kerjanya. Ya seperti para pengusaha di Arab Saudi itu. Tentu saja tidak semua majikan berpikiran demikian.

Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika

***

Tilaria Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun