Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan Buruk Bagi Perekonomian, Mitos atau Fakta?

2 Juni 2018   04:00 Diperbarui: 2 Juni 2018   11:01 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cuplikan layar arabnews.com

Om Rumi juga singgung survei ekonom Campante dan Yanagizawa-Drott yang menunjukkan bahwa Ramadan secara signifikan berefek negatif terhadap pertumbuhan output.

Kemudian ia simpulkan jika ada 21 hari kerja selama Ramadan berarti ekonomi kehilangan 42 jam kerja setahun yang sama dengan kehilangan 2,5% output per tahun.

Saya coba melacak ke riset Om Campante dan Yanagizawa-Drott yang kesimpulannya dipakai sebagai bahan argumentasi Om Rumi. Judulnya "Does Religion Affect Economic Growth and Happiness."

Saya hanya membaca sepintas---baca tanpa merenungkan, tanpa menguji---jadi mungkin kesimpulan saya akan keliru. Tetapi dari yang saya baca, riset Campante dan Yanagizawa hanya berfokus pada faktor berkurangnya jam kerja dan menurunnya produktivitas marginal tenaga kerja. Selain soal kepuasan individual warga negara terkait aktivitas rohani.

Hipotesisnya: karena gY=gA+gL+ (1)gK, atau pertumbuhan tahunan (gY) ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas(gA), supply tenaga kerja (gL), dan kapital (gK), maka puasa Ramadan akan mengurangi pertumbuhan sebab produktivitas marginal tenaga kerja berkurang. 

Mereka lalu membandingkan pertumbuhan ekonomi dari serangkaian tahun di sejumlah negara muslim yang dihubungkan dengan lamanya waktu puasa pada tahun dan negara bersangkutan. Kesimpulannya adalah lama waktu puasa memang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Hemat saya, yang bukan ahli ekonomi ini, kelemahan dua om peneliti ini adalah mengabaikan kemungkinan peningkatan produktivitas pada bulan-bulan sebelum Ramadan---pabrik-pabrik, terutama sektor garmen dan produk makanan yang laris saat Ramadan lembur---untuk mengejar produksi guna mengimbangi kenaikan permintaan saat ramadan. Mereka juga mengabaikan terciptanya lapangan kerja baru di sektor informal---saya singgung hal ini dalam artikel "Perkecil Mudarat Perbanyak Maslahat Pasar Dadakan Ramadan"--selama Ramadan.

Di luar riset Campante dan Yanagizawa, Om Rumi hanya menggunakan informasi soal berkurangnya jam kerja. Ini adalah kesimpulan yang dihasilkan dari penalaran deduktif bahwa pertumbuhan ekonomi (g) ditentukan oleh produktivitas (A) dan jam kerja (L). Maka pengurangan jam kerja (gL) dan pengurangan produktivitas (gA) otomatis berdampak negatif terhadap laju pertumbuhan (gY).

Hal serupa pada data dan informasi dalam artikel Om Muddassar Ahmed. Ia menyinggung informasi Ketua Asosiasi Kontraktor Uni Emirat Arab soal turunnya produktivitas pekerja muslim. Demikian juga informasi yang disampaikan analis ekonomi Hussam Ayesh soal turunnya produktivitas di sektor publik dan swasta hingga 50 persen; atau hasil wawancara Kuwait News Agency (KUNA) tentang turunnya produktivitas buruh di Dubai yang mencapai 20-40 persen.

Mayoritas data dan informasi yang mendasari pandangan bahwa Ramadan berdampak buruk bagi perekonomian adalah terkait pemotongan jam kerja dan produktivitas tenaga kerja.

Coba kita lihat berita Arab News yang disinggung Om Rumi di atas. "Businesses want more working hours in Ramadan," judulnya, terbit 12 Agustus 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun