Ini kisah dari masa melampaui satu dekade silam. Cerita tentang perjalanan, kebiasaan-kebiasaan, toleransi, dan hal-hal lucu yang terbit darinya. September 2007. Saya ingat bulan itu sebab itu bulan ultah istri tercinta yang ketika itu masih jadi kekasih yang hangat dan ceria sebab kami belum menikah.
September 2007 saya dan seorang kawan dari Maumere dalam perjalanan untuk menghadiri pertemuan di Solo. Kawan saya itu, sebut saja Bung Oleng, lulusan sekolah tinggi filsafat yang mendedikasikan hidupnya menjadi organisator petani dan pemuda di kabupatennya. Sementara pertemuan yang akan kami hadiri semacam pertemuan para aktivis lintas sektoral. Ada buruh, petani, pemuda, seniman, dan orang-orang dari rupa-rupa lapangan perjuangan lain.
Kami tiba di Surabaya, mendarat di Bandara Juanda. Ketika itu percakapan tentang Lumpur Sidoarjo sedang di puncak trending luring dan daring sebab baru berusia setahun lebih setelah semburan pertamanya.
Orang lebih akrab dengan istilah Lumpur Lapindo karena konon dipicu oleh salah perlakuan PT Lapindo Brantas yang lebih mengejar murah daripada aman. Konon. Saya tidak benar-benar mengikuti perkembangan penyelidikan ilmiah atas penyebab bencana itu.
PT Lapindo berantas dimiliki oleh PT Kalila Energy Ltd (84,24 persen saham) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen saham). Tetapi dua perusahaan itu, Kalila dan Pan Asia sama-sama dimiliki oleh PT Energi Mega Persada.
Energi Mega Persada sendiri adalah anak perusahaan Bakri Group. Pak Abu Rizal, bekas boss utama Golkar dan adik-kakaknya berbagi kepemilikan Energi Mega Persada dengan sejumlah orang lain. Saham Bakri mayoritas, di atas 60 persen.
Kadang-kadang saya berpikir hebat juga kaum kapitalis itu. Mereka seperti sapi pejantan saja, bull, sangat produktif menghamili perusahaan-perusahaan hingga beranak pinak begitu banyak.
Tetapi tunggu dulu. Kita tidak sedang membahas perusahaan atau para pengeksploitasi sumber daya alam yang sering jadi provokator bencana tetapi enggan bertanggungjawab itu. Kita sedang bercerita tentang perjalanan.
September itu Surabaya juga sedang dalam suasana Ramadan meski tidak tampak seperti kota-kota lain di Indonesia yang ketika puasa tiba berubah bagaikan seorang bintang porno mengejutkan muncul di tabloid gosip sebagai perempuan berhijab.
Surabaya adalah kota yang jujur, tidak berlebihan bersolek tampilan luar. Meski sejujurnya saya sering mengalami naik taksi yang berputar-putar seolah-olah kesasar hingga argo membengkak. Sepanjang perjalanan supir akan bercerita tentang kesusahannya. Sudah seminggu ia hanya dapat sedikit penumpang dan bahwa ia baru saja menjadi supir. Tujuan akhirnya adalah agar saya maklum atau berbelas kasihan, merelakan beberapa lembar lima puluh ribu tercabut dari dompet. Pertama kali mengalami itu saya percaya dan jatuh iba. Tetapi setelah setengah lusin taksi menceritakan hal yang sama, sadarlah saya, itu sebuah modus. Aaah, Surabaya.
Saat dalam bus dari Juanda ke Bungurasih--tempat ketika kami akan dijemput panitia Surabaya sebelum berangkat ke Solo-- saya merasa perlu mengingatkan Bung Oleng agar ia tidak menikmati camilan di dalam bus, bahkan sekedar permen demi bertoleransi terhadap penumpang yang sedang berpuasa. Saya kuatir ia lupa sebab pada tangannya tergenggam sebotol air kemasan.
Saya dan Bung Oleng duduk sebangku, rapat dengan bahu yang bersentuhan. Tetapi karena merasa tidak enak jika peringatan saya didengarkan orang di belakang atau disamping, saya memilih sampaikan lewat SMS. "Ingat, Bro, orang-orang Surabaya sedang berpuasa. Kita perlu hormat dengan menahan diri untuk tidak makan atau minum di depan umum."
Seharusnya setelah membaca pesan di ponsel, ia cukup menganggukkan kepala atau sekedar berkata, "Ok." Tetapi ia mengetik pesan.
Ponsel saya berbunyi. Pesan dari Bung Oleng---yang duduk di samping saya itu---masuk. "Ok!"
***
Kami beristirahat sehari di Surabaya. Esok, setelah menikmati sarapan saat subuh bersama orang-orang yang bersantap sahur di terminal bus, kami lanjutkan perjalanan ke Solo menumpang bus  paling murah. Bus itu singgah ke begitu banyak tempat.
Selain demi berhemat, itu juga salah satu cara untuk tetap bersentuhan dengan denyut kehidupan rakyat. Merasakan gairahnya, kerja keras, harapan-harapan, gundah hati, kelelahan, bau keringatnya, dan tindakan-tindakan kurang ajar terbatas yang boleh muncul ketika hidup harus diperjuangkan.
Saya terbangun oleh udara yang mulai terasa panas, juga oleh teriakan pedagang asongan yang tidak rela kehilangan uang dari calon pembeli yang tertidur.
"Bung, mengapa orang-orang itu menjajakan makanan di saat puasa?" tanya Bung Oleng.
"Karena anak-anak efpei masih bobo," jawab saya sekenanya.
"Jadi efepei yang tertipkan mereka? Mengapa bukan Pol PP?"
"Ya karena yang suci mereka."
"Bukankah dulu mereka milisi bentukan Kivlan untuk sukseskan Sidang Istimewa?"
"Iya. Setelah Gus Dur larang TNI bina ratih, mereka jadi orang saleh."
"Orang percaya mereka saleh?"
"Ya, karena mereka bertempur di Ambon."
"Ah, itukan konflik antara preman."
"Yang dalam KTPnya tertera agama. Kristen dan Muslim. Ayam pun jika dahulu beragama seturut tuan pemilik, persabungannya di pasar bisa diolah jadi perang agama. Kautahu kan negeri kita?"
Bung Oleng menyodori saya kacang goreng. Rupanya ia beli dari pedagang asongan tadi.
"Kau tak kasihan ibu di samping saya, kah? Dia mungkin sedang berpuasa." Saya menolak.
"Dia musafir." Bung Oleng membela diri.
"Lebih baik menduga tidak sebab tak tampak ia makan atau minum apapun sejak tadi."
Tetapi Bung Oleng bersikukuh. Karena duduk di pojok, terpisah dari ibu itu oleh tubuh saya, Ia merasa aktivitas mengunyahnya tidak mengganggu si ibu.
Tetapi saya tak rela ia bisa menikmati kacangnya sementara saya harus menjaga diri toleran terhadap ibu yang berpuasa ini.
"Bunyi kunyahanmu terdengar ibu ini. Dia melirik padamu." Saya berbisik.
Mangkus! Bung Oleng menghentikan aktivitas mengunyah. Saya lantas mencoba tidur lagi.
***
Hari sudah senja ketika kami tiba di tempat tujuan. Bung Oleng tertidur pula rupanya. Saya  membangunkannya dan. buru-buru turun.
Saya terkejut. Begitu kaki menjejak tanah, Bung Oleng langsung muntahkan isi mulutnya. Bukan isi perut.
"Kau kenapa, Bro?"
"Karena takut mengganggu puasa ibu itu tadi, kacangnya saya isap saja, tidak kunyah. Tetapi kacang-kacang itu tetap utuh, tidak seperti permen mengaus. Saya lantas tertidur dengan kacang penuh dalam mulut."
Demikian, Om-Tante. Semoga senyum terbit di bibirmu.
Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika
***
Tilaria Padika
21052018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI