Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Tragedi "Kacang Lebaran"

3 Juni 2018   04:00 Diperbarui: 19 Juni 2018   05:35 2236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari bukalapak.com

Mengenang masa kecil sering membuat kita tertawa sendiri. Banyak kisah konyol yang terasa memalukan di masa itu namun jika dikenang sekarang justru mengundang geli. Geli yang lucu mengorek tawa, bukan geli yang memancing muntah. Saya punya kisah seperti itu yang terkait Ramadan.

Saat berusia sekolah dasar, di antara kawan-kawan sepermainan sekampung hanya satu yang beragama Islam. Adi namanya, orang Padang, anak lelaki satu-satu dalam keluarganya.

Ayah Adi sudah lama meninggal. Orang dewasa di rumah Adi hanya ibu, paman yang belum menikah, dan kakak perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak. Seingat saya, kakak ipar Adi tak pernah terlihat.

Masih ada dua orang lagi kakak Adi, keduanya perempuan. Yang satu sudah SMA, satunya lagi SMP. Saya lupa nama keduanya.

Dulu saya suka curi-curi pandang kepada kakak Adi yang SMP itu. Wajahnya lucu. Manis tetapi ada barisan kumis tipis di atas bibirnya. Seperti wajah Lis Dahlia. Jika kepergok yang sedang diperhatikan, saya sering malu sendiri. Pipi saya terasa menghangat, lalu segera pamit pulang. Aduh malunya.

Adi memiliki banyak peliharaan ayam jago. Sebenarnya itu ayam-ayam pamannya. Tetapi karena si paman sibuk bekerja---samar saya mengingatnya seorang penjahit---Adi lah yang diberikan tanggung jawab memberi makan dan minum ayam-ayam itu.

Ayam Jago itu sepertinya dipelihara khusus untuk sabung atau dalam bahasa kami taji.

Setiap ayam memiliki nama yang meniru nama hero Hollywood beken saat itu. Ada Rambo, Cobra, Commando, Rocky, dan Chuck Noris. Saya tidak tahu mengapa Chuck lebih terkenal dengan nama asli, bukan nama karakter dalam film yang dimainkannya. Sementara Stallone dan Arnold dikenal sebagai karakter yang mereka mainkan. Oh iya, ada juga Cheng Lung. Saya lupa persisnya bagaimana nama jagoan Kungfu Hongkong itu ditulis. Ada satu yang bernama Bruce Lee tetapi sudah lama disembelih.

Jika tak ada permainan lain yang mengasyikan, pada sore hari---selepas tidur siang---kami bermain di halaman belakang rumah Adi, menyaksikan kelahi ayam-ayam itu.

Suatu sore, agak lama kami berada di halaman belakang rumah Adi. Saat itu sedang Ramadan. Mungkin karena kami belum pulang juga dan sudah waktunya berbuka puasa, Kakak Adi yang mirip Is Dahlia itu memanggi kami ke ruang tamu. Kami disuguhi sirup dan aneka cemilan.

Saat pulang saya dan Amos---nama teman saya---mengobrolkan kacang aneh yang tadi kami makan. Warnanya hijau. Belum pernah kami temukan kacang yang berwarna hijau seperti itu. "Mungkin pakai pewarna kesumba," tebak Amos.

Keesokannya Saya, Amos, dan seorang adiknya, Nesi bermain ke sabana di Utara kampung. Kami mencari buah kom, kegemaran anak-anak saat itu. Dalam bahasa Indonesia Kom adalah Bidara. Nama ilmiahnya Ziziphus mauritiana. Adi tidak ikut bersama kami sebab ia sedang berpuasa.

Seperti lazimnya anak kecil, kami akan terus mengulang-ulang percakapan tentang hal menarik yang baru pernah kami tahu. Kacang berwarna hijau itu salah satunya.

Saya menyebutnya kacang lebaran sebab kata Adi kacang itu untuk dihidangkan kepada tamu yang datang mengucapkan selamat Idul Fitri nanti. Amos lebih senang menyebutnya kacang Islam. Mungkin karena kacang berwarna hijau itu hanya ada di rumah Adi, satu-satunya keluarga Islam yang kami kenal di kampung.

Mendengar cerita kami, Nesi membujuk-bujuk minta diajak untuk kembali ke rumah Adi. Ia juga ingin tahu bentuk kacang itu dan mencoba rasanya. Karena saya dan Amos juga ingin mencicipi sekali lagi, dan bila perlu setiap hari, kami pun bersama-sama menuju rumah Adi.

Kami menjumpai Adi sedang memandikan ayam-ayam jago dengan air semprotan selang. Amos merasa tidak perlu basa-basi. Ia punya Nesi untuk dijual. "Nesi mau coba kacang yang hijau kemarin itu," kata Amos.

"Tunggulah hingga sore nanti saat sudah buka puasa," jawab Adi. Saat itu suara Azan tidak terdengar hingga ke kampung kami. Mungkin masjid yang kelak dibangun di kampung tetangga saat itu belum ada. Entahlah, saya lupa.

Setelah hari gelap, kami  dipanggil ke dalam. Stoples-stoples kue kering sudah berada di atas meja. Mungkin belum diangkat sejak kemarin atau baru diletakkan setelah Adi minta pada kakaknya.

Saat kami masuk, Kakak Adi yang SMA yang menerima kami di ruang tamu. Ia bertanya nama Amos dan Nesi. Nama saya ia ingat sebab ibu saya yang menolong kakak sulungnya melahirkan.

Ia lalu mempersilakan kami mengambil sendiri camilan dalam stoples di atas meja.

Dengan senang hati. Hanya stoples 'kacang lebaran' itu yang kami sasar. Pelan-pelan. Santun.

Kami mengunyah tanpa banyak bicara. Perlahan. Merasakan sensasi yang masih saja terasa unik meski kemarin sudah mencobanya.

Kakak Adi lalu pamit ke belakang untuk mengambilkan minuman. Adi sendiri masih belum muncul di ruang tamu. Mungkin ia sedang mandi atau makan.

Entah siapa memberi komando, Nesi tiba-tiba maju, berlutut di depan meja dan menyodorkan tangan ke dalam stoples kacang. Amos merespon itu dengan melakukan hal serupa. "Kita masukkan saku," kata Amos.

Celaka. Bisa tidak kebagian, pikir saya. Segera saja saya ikuti keduanya, merogoh isi stoples.

Tiga lengan kecil di dalam stoples. Ketika hendak menarik kembali lengan bersama butiran-butiran kacang, genggaman kami bertiga tersangkut.

Seharusnya kami bisa mengeluarkan tangan dari dalam stoples jika tidak dalam posisi menggenggam. Tetapi siapa mau mengalah? Jika saya lepaskan kacang-kacang itu dan menarik keluar tangan saya, berarti Amos dan Nesi bisa mendapatkan semua isi stoples. Saya tak mau begitu dan berharap Amos atau Nesi yang akan mengalah.

Ketika kami masih saling tunggu siapa yang hendak mengalah, Kakak Adi sudah muncul kembali.

"Ehhh, satu-satu saja, masih banyak di belakang. Nanti kakak ambilkan lagi."

Kami malu dipergoki, melepaskan kacang-kacang dalam genggaman, menarik lengan dari dalam stoples, dan kembali duduk. Sopan. Tak ada yang bicara.

"Ayo, sambil minum, makan lagi kacangnya. Satu-satu ambilnya ya."

Tidak ada yang bergerak.

Rupanya Kakak Adi paham kecanggungan itu. Ia meraih sendok, membagikan 'kacang lebaran' ke genggaman kami.

Kami menerima saja dan makan dalam diam. Malu.

Sejak peristiwa itu, cukup lama saya tidak muncul di rumah Adi. Bahkan ketika lebaran Idul Fitri tiba, saya menolak diajak  orang tua untuk pergi mengucapkan selamat. Orang tua saya berpikir jika saya sedang bertengkar dengan Adi.

Belasan tahun kemudian baru saya tahu bahwa kacang berwarna hijau itu adalah kacang polong jenis kacang Ercis yang digoreng. Ada juga yang menyebutnya kacang Kapri.

Tetapi saya kini tahu, yang benar adalah Ercis. Kacang Kapri dapat dimakan biji dan polongnya dan karena itu sering dijadikan sayur. Ercis hanya dimakan bijinya, kacangnya. Paragraf terakhir ini baru saya tahu saat ini.

Baca yang lain di SERI EDISI RAMADAN TILARIA PADIKA

***

Tilaria Padika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun