Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

TKA dan Akhir Internasionalisme Kelas Pekerja? (Bag 2)

1 Mei 2018   03:33 Diperbarui: 4 Juni 2018   18:51 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"As I write these lines, the proletariat of Europe and America is holding a review of its forces; it is mobilized for the first time as One army, under One Bag, and fighting One immediate aim: an eight-hour working day, established by legal enactment.... "

Demikian seseorang yang sangat penting dalam sejarah May Day, yang pada sebuah kongres internasional di tahun 1889 mengusulkan May Day dijadikan hari unjukrasa kaum buruh sedunia menulis di tahun 1890.

Hari ini kaum buruh di Indonesia, sebagaimana buruh di negara manapun di dunia kembali memenuhi jalan-jalan di kota-kota industri. Hanya saja sepertinya agak aneh jika kita menyebutnya 'as one army, under one bag' sebab dalam teriakan dan poster-poster itu lantang dituntut "tolak TKA!" 

Sementara di saat yang sama, buruh di belahan dunia lain menuntut, "Stop the attacks of immigrant workers!  Equal rights for all workers! Stop deportation!"

Tetapi baiklah, meski begitu, pada hari yang berbahagia ini patutlah saya ucapkan selamat Hari Buruh. Buruh sedunia bersatulah! Setiap orang yang pernah terlibat dalam upaya susah payah menghidupkan kembali 1 Mei sebagai perayaan buruh di Indonesia, tentu senang melihat bagaimana keterlibatan buruh dalam unjuk rasa May Day meningkat pesat dalam hampir dua dekade ini, dari ratusan jadi seribuan menjadi puluhan ribu, lalu ratusan ribu. 

Sebagaimana janji saya dalam artikel bagian 1, hari ini kita bicarakan tentang fleksibilitas pasar tenaga kerja, biang tantangan bagi prinsip dan nilai internasionalisme dalam gerakan buruh.

Labour Market Flexibility atau fleksibilitas pasar tenaga kerja atau --saya sarankan kita pakai frasa yang terakhir ini---Kelenturan Pasar Tenaga Kerja harusnya sudah jadi istilah dan konsep yang akrab sebab  telah mulai diperdebatkan sejak 1980an.

Sebenarnya ini hanya istilah keren untuk membungkus istilah 'pasar bebas khusus komoditi tenaga kerja.' Jika pasar bebas untuk modal disebut finance capitalism, ya pasar bebas untuk tenaga kerja disebut 'kelenturan pasar tenaga kerja.'

Ada banyak sekali upaya bohong yang canggih---hoax ilmiah---bahwa kelenturan pasar tenaga kerja dilatarbelakangi oleh niat mulia menciptakan lebih banyak kesempatan kerja.

Ini adalah alasan yang selalu digunakan, terutama oleh lembaga-lembaga suprastate---Bank Dunia, IMF, ADB, persatuan negara-negara maju di dalam OECD---dan para tukang riset upahan mereka untuk melobi---sering dengan gimmick pemberian pinjaman---negara-negara berkembang yang masih proteksionis dalam pasar tenaga kerja.

Sebenarnya kelenturan pasar tenaga kerja lahir sebagai mekanisme adaptasi kapitalisme setelah berakhirnya era ekonomi keynesian dan---fitur politiknya---negara kesejahteraan, alias bermulanya neoliberalisme.

Ketika krisis hutang luar negeri era 1980an---mengikuti krisis harga minyak dunia--melanda Amerika Latin, bertemulah IMF, World Bank, dan US Treasury Department untuk menemukan jalan keluar agar laju keuntungan---paling pas disebut laju akumulasi kapital--- dapat dikembalikan.

Pada 1989, lahirlah 10 agenda liberalisasi yang dikenal sebagai Washington Consensus. Sistem ekonomi dunia yang dijalankan dengan fitur sepuluh konsensus ini dikenal dengan beragam nama: reaganomics, thatcherism, dan yang paling umum adalah neoliberalisme.

Ia disebut neoliberalisme sebab hendak mengembalikan kejayaan liberalisme klasik yang berakhir oleh depresi raya ekonomi dunia 1930an.

Dahulu, pada masa awal perkembangan kapitalisme, perekonomian memang sangat lentur sebab  berjalan dengan prinsip Laissez-faire (diambil dari jawaban Le Gendre dalam pertemuan pebisnis Prancis dengan Jean-Baptiste Colbert, 1668, dan kemudian dipopulerkan oleh ekonom de Gournay dan Quesnay).  Dalam soal upah misalnya, dahulu tidak dikenal yang namanya upah minimum.

Itu sebabnya baik ekonom klasik seperti Ricardo, pun Marx, ketika berteori soal upah mengatakan jika tingkat upah memang akan bergerak di sekitar tingkatan minimum. Menurut Ricardo, sebagaimana umumnya komoditi, harga tenaga kerja bergantung kepada kekuatan permintaan dan penawaran.

Jika jumlah populasi manusia kian banyak---Ricardo melihat populasi manusia sebagai bahan baku tenaga kerja--tingkat upah juga akan turun hingga ke titik di mana orang tidak akan mau bekerja karena kelewat rendah.

Marx sedikit memperbaiki Ricardo. Pertama menurutnya faktor penentu dari sisi suplai tenaga kerja bukan jumlah populasi, tetapi pada perbandingan antara buruh yang bekerja dan yang mencari pekerjaan (industrial reserve army).

Kedua, baik Marx pun Ricardo --berbeda dengan Mill dan teori wage fund-nya-- memandang bahwa total kombinasi jumlah dari profit (majikan) dan upah (buruh) adalah tetap. Tetapi jika Ricardo memandang bahwa upah buruh hanya bisa dinaikkan dengan menekan upah buruh lainnya, Marx berpendapat bahwa kenaikan upah buruh dapat dicapai dengan menekan pengusaha agar mengurangi profit. Tetapi kenaikan ini pun dibatasi oleh kondisi ekonomi.

Saya menahan diri untuk membahas teori-teori pembentukan upah, menyimpannya hingga artikel  beberapa hari ke depan yang membahas unjukrasa menolak PP 78/2015. Jadi saya ringkas bagian ini bahwa konsep upah minimum baru dikenal pada akhir abad 19 di Selandia Baru dan Australia, kemudian diadopsi Ingris pada 1909 lalu oleh ILO pada 1920an. Itupun masih sektoral untuk sektor manufaktur dan perdagangan. Belum ada konsep upah minimum nasional.

Konsep upah minimum nasional baru dikenal dan diratifikasi sejumlah negara setelah ILO menerbitkan Minimum Wage Fixing Recommendation No. 135 pada 1970an.

Setelah periode krisis harga minyak (oil shock) 1973, berlanjut krisis utang 1980an, yang dijawab negara-negara kaya dengan Washington Consensus, penerapan upah minimum kembali dipukul mundur. Pengaturan tentang upah minimum dipandang kapitalis dan pemerintahan pendukungnya---termasuk struktur suprastate---sebagai penghambat perkembangan investasi. Penghapusan regulasi tentang upah minimum adalah bagian dari desakan memberlakukan kelenturan pasar tenaga kerja.

Washington Consensus adalah liberalisasi melalui regulasi dan deregulasi di bidang 1) disiplin fiskal; 2) pemotongan belanja publik (penghapusan subsidi); 3) reformasi perpajakan (penurunan tingkat marjinal dan perluasan basis pajak); 4) liberalisasi tingkat bunga; 5) liberalisasi nilai tukar; 6) liberalisasi perdagangan (penghapusan proteksi tarif dan kuota); 7) liberalisasi arus masuk investasi asing (foreign direct investment); 8) privatisasi BUMN; 9) deregulasi aktivitas ekonomi (penghapusan peraturan-peraturan yang menghambat investasi); 10) perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.

Liberalisasi pasar tenaga kerja atau kelenturan pasar tenaga kerja termasuk ke dalam agenda ketujuh: liberalisasi arus masuk investasi asing.

Modal internasional butuh ruang gerak lebih luas, masuk dan keluar dengan mudah ke berbagai negara atau beralih sektor. Persaingan yang kian ketat dan rangkaian krisis dalam kapitalisme yang kian sering dan panjang membuat mereka harus dapat beradaptasi dengan lentur.

Investasi harus mudah berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; dari satu sektor ke sektor lain. Biaya-biaya atas faktor produksi juga harus turut lentur, agar dengan itu perusahan-perusahaan dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi.

Itu sebabnya dua wajah utama kelenturan pasar tenaga kerja adalah tuntutan kelenturan upah (wage flexibility) dan kelenturan sistem perekrutan dan pemecatan buruh (worker mobitity). Itu sebabnya pula, benturan yang paling sering terjadi antara buruh dan pengusaha adalah menyangkut upah miminum serta sistem kerja kontrak dan outsourcing.

Investasi tidak mudah berpindah (lokasi atau sektor usaha) jika regulasi membatasi mereka seenaknya melakukan PHK, atau membatasi mereka dalam memberlakukan sistem kerja kontrak dan outsourcing.

Investor akan sulit berakrobat untuk mempertahankan tingkat keuntungan jika harga bagi faktor produksi tenaga kerja (upah buruh) diatur negara. Demikian juga jika regulasi ketenagakerjaan memberikan hak kepada kaum buruh untuk bernegosiasi---melalui perundingan dan pemogokan-- dalam penentuan tingkat upah minimum setiap tahun.

Investasi akan sulit mencapai keuntungan jika hak kaum buruh untuk berserikat dan melakukan pemogokan tidak dibatasi. Bayangkan betapa ruginya ketika pabrik harus beroperasi penuh karena mumpung mendapat kontrak maklun pakaian merek ternama, lalu tiba-tiba buruh melakukan pemogokan untuk menuntut perbaikan kondisi kerja dan kenaikan upah.

Terkini, investasi akan sulit untung jika mereka tidak diberikan kebebasan untuk mendatangkan buruh dari berbagai belahan dunia yang bersedia dibayar lebih murah dibandingkan buruh di negara tempat modal mereka ditanamkan.

Yang terakhir ini adalah perkembangan terkini dari tuntutan dunia usaha akan kelenturan pasar tenaga kerja. Jika memindahkan pabrik terlalu repot, maka sebaiknya memindahkan buruh, dari tempat-tempat dengan tingkat upah lebih rendah tetapi lebih memiliki etos kerja.

Beragam peraturan ketenagakerjaan dan investasi yang dikeluarkan sejak krisis ekonomi di akhir 1990an hingga yang terakhir dan masih berlaku, seperti UU 13/2003,  PP 78/2015, hingga terkini  Perpres 20/2018 adalah resultan dari tarik-menarik antara kepentingan kapitalis (terutama internasional) akan kelenturan pasar tenaga kerja dan kepentingan buruh akan employment security (pekerjaan stabil, upah yang terus membaik, dan hak berserikat).

Sebagai resultan berarti kelas pekerja belum kalah. Pemerintahan yang ada belum benar-benar jatuh ke tangan kepentingan modal internasional. Itu karena state power pada dasarnya adalah relasi sosial. Kekuasaan negara adalah medan sekaligus dampak dari pertarungan antara kelompok-kelompok sosial.

Sudah benar jika buruh menggencarkan perlawanan. Sebagaimana wajah kini negara di hadapan isu perburuhan dibentuk oleh akumulasi benturan antara gerakan buruh dan pastisipasi aktif pengusaha dalam politik di masa-masa sebelumnya; gerakan buruh pada hari ini juga menentukan bagaimana negara hadir di hadapan buruh generasi selanjutnya. Perjuangan hari ini bukan hanya untuk generasi masa kini, tetapi juga anak cucu di kemudian hari.

Baiklah. Hingga bagian kedua, artikel ini belum memenuhi tugasnya. Ada dua bagian besar lagi yang wajib kita bahas. Pertama, bagaimana kepentingan kelenturan pasar tenaga kerja telah menyusup masuk dalam beragam produk regulasi ketenagakerjaan dan investasi (sejak letter of intent dengan IMF, 1997-2003) dan dilanjutkan proyek-proyek ADB dan struktur suprastate lainnya.

Kedua, bagaimana kebijakan-kebijakan itu berdampak kepada kehidupan buruh dan tantangan bagi perjuangan serikat buruh di kemudian hari, termasuk soal prinsip dan nilai internasionalismenya.

Sampai jumpa di bagian ketiga dan keempat. Sekali lagi, atas nama saudara tua kalian, kaum tani, saya ucapkan selamat hari buruh sedunia. Workers unite!

Jangan lupa Baca  Artikel Terkait sebelumnya:

***

Tilaria Padika

30042018

Kunjungi Kumpulan artikel tentang Perjuangan Buruh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun