Setelah periode krisis harga minyak (oil shock) 1973, berlanjut krisis utang 1980an, yang dijawab negara-negara kaya dengan Washington Consensus, penerapan upah minimum kembali dipukul mundur. Pengaturan tentang upah minimum dipandang kapitalis dan pemerintahan pendukungnya---termasuk struktur suprastate---sebagai penghambat perkembangan investasi. Penghapusan regulasi tentang upah minimum adalah bagian dari desakan memberlakukan kelenturan pasar tenaga kerja.
Washington Consensus adalah liberalisasi melalui regulasi dan deregulasi di bidang 1) disiplin fiskal; 2) pemotongan belanja publik (penghapusan subsidi); 3) reformasi perpajakan (penurunan tingkat marjinal dan perluasan basis pajak); 4) liberalisasi tingkat bunga; 5) liberalisasi nilai tukar; 6) liberalisasi perdagangan (penghapusan proteksi tarif dan kuota); 7) liberalisasi arus masuk investasi asing (foreign direct investment); 8) privatisasi BUMN; 9) deregulasi aktivitas ekonomi (penghapusan peraturan-peraturan yang menghambat investasi); 10) perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.
Liberalisasi pasar tenaga kerja atau kelenturan pasar tenaga kerja termasuk ke dalam agenda ketujuh: liberalisasi arus masuk investasi asing.
Modal internasional butuh ruang gerak lebih luas, masuk dan keluar dengan mudah ke berbagai negara atau beralih sektor. Persaingan yang kian ketat dan rangkaian krisis dalam kapitalisme yang kian sering dan panjang membuat mereka harus dapat beradaptasi dengan lentur.
Investasi harus mudah berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; dari satu sektor ke sektor lain. Biaya-biaya atas faktor produksi juga harus turut lentur, agar dengan itu perusahan-perusahaan dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi.
Itu sebabnya dua wajah utama kelenturan pasar tenaga kerja adalah tuntutan kelenturan upah (wage flexibility) dan kelenturan sistem perekrutan dan pemecatan buruh (worker mobitity). Itu sebabnya pula, benturan yang paling sering terjadi antara buruh dan pengusaha adalah menyangkut upah miminum serta sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Investasi tidak mudah berpindah (lokasi atau sektor usaha) jika regulasi membatasi mereka seenaknya melakukan PHK, atau membatasi mereka dalam memberlakukan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Investor akan sulit berakrobat untuk mempertahankan tingkat keuntungan jika harga bagi faktor produksi tenaga kerja (upah buruh) diatur negara. Demikian juga jika regulasi ketenagakerjaan memberikan hak kepada kaum buruh untuk bernegosiasi---melalui perundingan dan pemogokan-- dalam penentuan tingkat upah minimum setiap tahun.
Investasi akan sulit mencapai keuntungan jika hak kaum buruh untuk berserikat dan melakukan pemogokan tidak dibatasi. Bayangkan betapa ruginya ketika pabrik harus beroperasi penuh karena mumpung mendapat kontrak maklun pakaian merek ternama, lalu tiba-tiba buruh melakukan pemogokan untuk menuntut perbaikan kondisi kerja dan kenaikan upah.
Terkini, investasi akan sulit untung jika mereka tidak diberikan kebebasan untuk mendatangkan buruh dari berbagai belahan dunia yang bersedia dibayar lebih murah dibandingkan buruh di negara tempat modal mereka ditanamkan.
Yang terakhir ini adalah perkembangan terkini dari tuntutan dunia usaha akan kelenturan pasar tenaga kerja. Jika memindahkan pabrik terlalu repot, maka sebaiknya memindahkan buruh, dari tempat-tempat dengan tingkat upah lebih rendah tetapi lebih memiliki etos kerja.