Setelah membayar tagihan, Badri menuntun Gita, mengantar perempuan malang itu ke penginapan.
"Kamu yakin nggak mau naik dulu ke kamarku? Aku punya koleksi kopi enak di atas. Yellow Cattura dari Colol, dikirimkan seorang kenalan dari Manggarai Flores." Gita enggan segera melepas pergi kenangan yang baru saja kembali ke dalam hidupnya.
"Jangan Gita. Aku takut terjadi sesuatu. Aku telah beristri-anak."
"Haaah ... lelaki yang baik. Berikan aku sekedar pelukan perpisahan jika begitu."
Keduanya berpelukkan. Badri merasa pelukan itu seperti pelukan dua sahabat yang baru berjumpa lagi setelah perang memporak-porandakan kampung halaman dan memisahkan keduanya bertahun-tahun tanpa kabar. Hanya tinggal keduanya yang selamat. Sebuah pelukan seakan mewakili segala kesedihan dan kerinduan yang hendak dibagi.
***
Pukul 12.30. Badri mendarat di Ngurah Rai. Penerbangan 12 jam yang melelahkan. Setelah melewati konter imigrasi dan mengambil bagasi, ia buru-buru memesan taksi menuju salah satu hotel di Kuta. Ia harus menginap sehari lagi sebelum terbang ke kota asal.
Dalam taksi, Badri mengaktifkan kembali nomor seluler Indonesia. Nada notifikasi berturut-turut terdengar. Banyak sekali pesan yang menunggu diterima selama lebih dari dua pekan ini. Ia membaca satu per satu.
Pesan ketujuh belas datang dari Gita. "Selamat tinggal, Badri. Maaf kita tak sempat bertemu lagi. Aku pergi."
Ah, rupanya Gita telah menyelesaikan liburannya. Semoga ia segera dapat mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaannya.
Badri hendak menyimpan telepon ke tas ketika matanya menabrak lembaran Tribun Bali yang terselip di kantung kursi. Wajah di halaman depan sepertinya ia kenal meski tampak bengkak. Ia meraih koran itu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!