Saya merasa perlu memberikan sedikit catatan tambahan tentang teori ini. Saya duga, Willian Reno adalah seorang Weberian dalam teori negara atau sosiologi kekuasaan sehingga merasa perlu menambahkan istilah shadow state untuk menunjukan  penyimpangan dari format negara lazim yang dipercaya kaum state-centered theory. Jika ia seorang Marxian, ia tidak perlu memberikan istilah khusus atas fenomena ini sebab yang perlu ia lakukan adalah sekedar menempatkannya sebagai mekanisme baru dari kelas dominan dalam mempengaruhi negara -- bagian dari pendekatan instrumentalis, salah satu cabang dari society-centered teory.
Tetapi soal Reno itu seorang Weberian, sekali lagi hanya dugaan berdasarkan kegenitannya memproduksi istilah shadow state. Sekarang kita kembali ke topik.
Pilkada oleh DPRD Menguatkan Potensi Shadow State
Saya hanya akan mengajukan dua skenario sebagai argumentasi sederhana yang didasarkan pada asumsi kondisi umum, yaitu motif rente ekonomi dalam berpolitik.
Para pengusaha membiayai jagoannya demi imbalan rente ekonomi dari proyek pemerintah, kebijakan protektif, atau diskriminasi fiskal. Politisi non-pengusaha dan para elit birokrat berubah status menjadi pengusaha kaya-raya setelah beberapa tahun menjabat.
Meski masif terjadi, money politics dalam pemilukada tidak selalu efektif memanen dukungan rakyat. Banyak cagub atau cabup gagal yang mengeluh sudah belanjakan miliaran rupiah untuk membeli suara dengan berbagai cara.Â
Tidak efektifnya money politics di dalam pemilukada bisa disebabkan tumbuhnya kesadaran politik sebagian rakyat; bisa juga uang dan barang yang dibagi terlampau kecil untuk mengubah kesetiaan tradisional berbasis kesamaan indentitas pada calon lain; atau kecilnya cakupan sasaran dibanding jumlah pemilih. Maka massa rakyat adalah filter terhadap money politics meski sering koyak.
Bandingkan, di dalam pilkada oleh DPRD, money politics cukup kepada 30 anggota DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan suara mayoritas. Dengan Rp 3 miliar rupiah, Rp 100 juta per suara, kemenangan nyaris pasti. Sementara dalam pemilukada, modal sedemikian hanya sanggup membeli 30.000 suara, Rp 100 ribu per suara dengan loyalitas jauh di bawah 100 persen.
Dana yang dibayarkan kepada 50 persen+1 anggota DPRD, akan lebih mudah ditagih kembali jika terjadi 'suara lari' dibandingkan jika uang receh dibagi-bagi kepada rakyat pemilih.
Dengan hasil lebih pasti, lebih banyak cukong bersedia membiayai transaksi suara dalam pilkada oleh DPRD dibanding melalui pemilu. Sebagai balas jasa, para cukong memonopoli proyek-proyek pemerintah, bahkan mendesak privatisasi ilegal pada penyediaan barang-jasa publik.
Skenario lain adalah melalui peran para ketua partai. Aristokrasi di tubuh parpol menyebabkan anggota legislatif takut berbenturan sikap dengan ketua partai. Maka dalam pilkada oleh DPRD relasi transaksional cukup melibatkan para ketua partai, yang selanjutnya memastikan kepatuhan anggota DPRD.