Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada oleh DPRD dan Potensi "Shadow State"

19 April 2018   13:51 Diperbarui: 20 April 2018   12:17 2538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi olahan pribadi

Meski sebagian paper di atas adalah karya di bidang ilmu politik, shadow state lebih sering dibahas dalam ranah ekonomi politik dengan ekonomi informal sebagai kata kunci.

Pengertian ekonomi informal tidak hanya terkait bentuk usaha unregulated--sebagaimana istilah ini melekat pada pedagang kaki lima--, produksi subsistem, atau pekerjaan tak berupah, tetapi mencakup juga aktivitas ilegal oleh badan usaha legal. Untuk menegaskan maksud pada definisi ekonomi informal yang terakhir, sering digunakan istilah clandestine economies.

Karena melibatkan para pemilik perusahaan besar dan gembong kriminal, teori shadow state beririsan dengan konsepsi bossism atau 'orang lokal kuat' yang dikembangkan Migdal.

Penggunaan milisi atau preman sebagai alat koersif adalah variabel sentral dalam teori shadow state. Milisi dan preman adalah bayangan dari instrumen represif formal (tentara dan polisi) yang merupakan syarat utama kehadiran negara. Tetapi hemat saya, variabel ini dialektis. Alat koersif  shadow state bisa saja lembaga formal yang dibajak tugas dan fungsinya menjadi pelayan persekongkolan.

Perlakuan dialektis ini dibenarkan karena eksistensi shadow state merupakan "matter of degree", bukan "all or nothing" sehingga keberadaannya pada suatu wilayah pemerintahan tidak harus menunggu semua syarat terpenuhi. Dengan itu teori yang berawal dari penyimpulan induktif atas kondisi khas negara-negara post-colonial Afrika ini bisa diterapkan di lain teritori dan waktu.

Shadow State di Pekarangan Kita

Di Indonesia, gejala shadow state menguat pasca-orde baru, terutama di daerah-daerah ketika perselingkuhan elit birokrat-politik-bisnis-kriminal tidak bisa lagi terang-terangan. Lihatlah penjelasan Sidel --meski tanpa istilah shadow state---dalam "Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia." Tampaknya apa yang disebut dalam perbincangan massa sebagai praktik mafia dalam lembaga negara adalah penyimpulan populer atas keberadaan shadow state.

Di beberapa provinsi, shadow state lebih gampang tercium. Penelitian Syarif Hidayat membongkar peran Chassan Sochib, ayah dari Gubernur Banten Atut Chosiyah dalam mengendalikan politik dan pemerintahan sekaligus menikmati rente ekonomi dari sana. Chassan adalah Ketua Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten, ketua KADIN Banten, dan politisi senior Golkar.

Di NTT bau busuk shadow state lebih samar, berupa rumor di sekitar SKPD 'juragan proyek.' Di tingkat provinsi ada rumor tentang dominasi etnis tertentu dalam jabatan penting (elit birokrasi) dan pengusaha pemenang tender (elit bisnis) di SKPD tertentu dengan hubungan mutualis dimana proyek dikerjakan dengan leasing alat berat milik pejabat pembuat komitmen.

Di kabupaten tertentu, SKPD atau OPD 'kaya proyek' didominasi oleh klik politisi berpengaruh sehingga sebelum lelang proyek terbuka, kadis perlu bertanya kepada klik itu tentang kepada siapa proyek akan diberikan. Ada pula rumor tentang pemda tertentu pada periode silam yang mengabaikan tanggung jawab penyediaan air bersih karena kepala daerah memiliki bisnis air bersih. Yang lebih benderang adalah kasus human trafficking yang di-back-up aparatur represif formal sebagaimana kini ramai diberitakan.

Sedikit Catatan Tambahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun