Saya baru tahu upaya menghidupkan kembali Pilkada oleh DPRD dari artikel Kompasianer Ronald Wan, "DPRD Memilih Pemimpin Daerah?" Setelah mengecek ke sumber berita, benarlah bahwa Pak Bamsut, kader Golkar yang kini Ketua DPR sudah sounding hal itu. Artikel ini sudah pernah saya posting dan oleh kesalahan teknis terhapus. Saya tayangkan lagi karena tampaknya masih banyak pihak keukeuh hendak mengolkan agenda pilkada oleh DPRD.
Ini usulan yang ahistoris mengingat upaya DPR melalui UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan UU UU Nomor 23/2014 tentang Pemda telah dikandaskan Tuan SBY saat masih presiden melalui Perpu Perppu 1/2014 dan Perppu 2/2014 yang mencabut dan memperbaiki isi kedua UU itu.
Lucunya, pada 2015, DPR dari partai yang sama, yang sebagian anggotanya masih muka lama DPR 2014 secara aklamasi mengesahkan Perppu 1 dan 2 itu menjadi UU 1/2015 dan UU 2/2015. Dalam rangka perbaikan kualitasnya, UU juga telah berubah beberapa kali. UU 1/2015 menjadi UU 8/2015, lalu UU 10/2016.
Menanggapi wacana ini, saya mendaur ulang artikel saya (dengan nama saya di dunia offline) "Pilkada oleh DPRD dan Menguatnya Shadow State" yang  dimuat di media cetak lokal di NTT pada 8 September 2014 lampau.
Memahami Shadow State
Shadow state adalah teori yang diperkenalkan William Reno dari studi terhadap negara-negara post-colonial di Afrika. Saya belum membaca langsung karya Reno, tetapi mengenal teori shadow state dari paper sejumlah akademisi. Sari pati konsep shadow state dari beragam paper itu sebagai berikut:
Pertama, kebijakan publik dibuat pejabat pemerintah untuk keuntungan ekonomi pribadi atau kelompoknya.
Kedua, kebijakan dibuat tidak berdasarkan regulasi resmi yang ada, tetapi --ketiga--ditentukan oleh persekongkolan antara elit birokrasi, elit politik, elit ekonomi, dan gembong kriminal teroganisir.
Keempat, jaringan persekongkolan ini mengambil alih peran dan sumber daya negara dalam penyediaan kebutuhan publik demi rente ekonomi.
Kelima, dalam menyabotase negara, jaringan ini membonceng aparatus formal pemerintahan dengan membelokkan tugas dan fungsinya atau memanfaatkan institusi non-state.
Keenam, kepatuhan publik ditegakkan melalui aparatus koersif privat seperti milisi sipil atau preman terorganisir.