Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sentimen SARA Direproduksi ASN Saban Pilkada

2 Maret 2018   04:07 Diperbarui: 4 Maret 2018   17:38 1849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang mana kah kelas sosial paling politis dalam masyarakat di kampungku? Jika Engkau bertanya begitu akan kujawab: para pengusaha kontraktor dan aparatur sipil negara (ASN).

Aku tak akan menyebut borjuasi sebab di daerah yang serba tertinggal ini belum ada kelas yang demikian itu. Pengusaha banyak. Tetapi sumber kekayaan mereka bukan pada penghisapan nilai lebih dari buruh berupah rendah. Masih terbatas golongan yang demikian itu. Para pengusaha di daerahku menumpuk kekayaannya bukan dari nilai lebih. Bukan. Mereka mendapatkannya dari selisih nilai proyek pemerintah dalam dokumen penawaran dengan jumlah yang sungguh-sungguh mereka keluarkan.

Aku juga tak akan menyebut ASN sebagai bagian dari kelas buruh meski pada dasarnya mereka juga orang-orang makan gaji dan boleh disebut sebagai pekerja sektor publik. Tetapi kultur dan peran sosial mereka, terutama fungsi mereka dalam sistem ekonomi dan politik berbeda dari umumnya buruh. Meski menjual kerja, mereka bagian dari privileged class, walau di lapisan terbawah the ruling class.

Kedua kelas ini adalah yang paling aktif dalam momentum politik di kampungku, terutama saat pilkada. Target dan motif keduanya berbeda.

Pengusaha kontraktor, yang penghasilan terbesarnya datang dari proyek pemerintah, mendukung calon-calon kepala daerah --kita singkat saja sebagai cakada-- dengan sumbangan uang dan fasilitas untuk pemenangan. Biasanya dukungan tidak hanya kepada satu pasangan cakada kecuali mereka yakin calon yang didukung sangat mungkin jadi pemenang.

Dukungan itu bukan ideologis sifatnya. Bukan pula karena bersepakat terhadap platform politik dan rencana program pembangunan yang diusung. Satu-satunya alasan adalah imbal balik berupa kemenangan dalam pelelangan proyek-proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah kelak.

Kasus penangkapan Cakada Marianus Sae dan kontraktor Ivan Ulumbu oleh KPK beberapa waktu lalu hanya contoh yang kebetulan tertangkap dari sekian banyak praktik serupa.

Lain pengusaha, lain pula ASN (PNS dan PPPK). ASN tidak menyumbang uang bagi cakada dukungannya. Memang pada sejumlah pilkada, para ASN ikut mengumpulkan uang ala kadarnya. Peran terbesar ASN adalah menyumbang tenaga sebagai jurkam door to door. Tentu saja dilakukan diam-diam dan hanya menyasar keluarga dan kenalan si aparatur.

Tidak semua aparatur menjadi timses bayangan. Biasanya hanya mereka yang memiliki jabatan tertentu atau yang mendamba jabatan. Imbalan yang diharapkan dari keterlibatannya adalah jabatan, baik dipertahankan atau kalau mungkin dinaikkan lebih tinggi jika cakada dukungannya menang.

Dengan terbitnya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda dan UU 5 Tahun 2014 tentang ASN, serta peraturan perundangan yang lebih operasional seperti PP 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan Permenpan 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian JPT seharusnya tidak ada insentif bagi ASN untuk berpolitik praktis dalam pilkada.

Beragam peraturan perundangan terkait Pemda dan ASN itu mengatur secara rinci syarat dan mekanisme pengangkatan Jabatan Pimpinan Tinggi (utama, madya, dan pratama) yang berlandaskan pada syarat dan kompetensi secara terbuka melalui uji kepatutan dan kelayakan oleh panitia seleksi.

Sudah diatur bagaimana pembentukan panitia seleksi oleh Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian berdasarkan rekomendasi yang bersifat mengikat dari Komisi ASN, sebuah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. 

Sudah diatur syarat-syarat rinci berupa syarat teknis, manajerial, sosial kultural dan kompetensi pemerintahan. Sudah pula diatur bahwa Kepala Daerah hanya meneruskan rekomendasi tiga nama yang direkomendasikan panitia seleksi kepada presiden melalui Mendagri. Sudah pula diatur bahwa proses pembentukan, kerja, dan hasil panitia seleksi diawasi oleh KASN.

Mungkin saja dalam praktiknya, beragam peraturan perundangan itu masih bisa disiasati sehingga ASN melihat bahwa pengisian jabatan dalam OPD masih mengikuti pola balas jasa politik. Akibatnya, hingga kini ASN masih saja terlibat sebagai tim sukses bayangan di dalam pilkada.

Sialnya, ketika ASN terlibat pilkada, mereka membawa setting "politik kantor" ke ranah publik. Politik kantor di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di kampungku cenderung sederhana saja. Promosi jabatan berlandaskan sentimen SARA, terutama suku, pulau, dan agama. 

Maka bergeraklah para pejabat dan pengharap jabatan, bertemu keluarga dan kerabat di kampung asal mereka, membawa pesan yang mewakili kepentingan mereka. "Pilihlah gubernur atau wali kota atau bupati yang seagama atau sepulau atau sesuku dengan kita. Jika memilih yang lain dari itu, tidak ada 'orang kita' yang menjadi pejabat."

Meskipun dalam kenyataan pembangunan, rakyat yang sesuku, seagama, sepulau dengan gubernur atau bupati/wali kota tidak menikmati porsi yang lebih besar dibandingkan rakyat parokial dan identitas lain, tetap saja sentimen yang disebarluaskan para birokrat ini lumayan bersambut.

Mungkin saja ini karena di kampungku sektor-sektor ekonomi di luar pelayanan publik belum cukup berkembang sehingga posisi birokrat, apalagi yang punya jabatan, sangat dihormati di tengah keluarga dan di kampung asalnya. Apapun kata mereka, akan diikuti saja olah keluarga yang polos dan lugu.

Aku tak sedang mengutuk para ASN, seolah-olah pada mereka satu-satunya tanggung jawab atas kondisi ini harus kita bebankan. Bagaimana pun, mereka berpolitik atas dasar kepentingan subjektif mereka.

Memang demikianlah berpolitik itu. Mereka butuh jabatan, dan mereka alami ketidakadilan --dalam pandangan mereka-- bahwa ketika kepala daerah sebagai pembina kepegawaian adalah orang dari suku, pulau, dan agama lain, mereka tidak akan dipromosikan ke jabatan yang lebih menjamin asap dapur. 

Mereka terpaksa berpolitik praktis, secara diam-diam, dengan menanggung risiko terkena sanksi jika dilaporkan. Tindakan mereka adalah lumrah semata sebagai respons atas "politik kantor". Serupa juga dengan petani yang harus berpolitik agar kepala daerah terpilih adalah orang yang bervisi memajukan pertanian dan peduli kepentingan petani.

Aku juga tidak sedang mengajak kita menyerah pada hukum "lingkungan material menentukan kesadaran orang". Memang demikian lah pribadi-pribadi dibentuk masyarakat, dibentuk lingkungannya. Tetapi pribadi-pribadi bukan adonan cake yang mengikuti saja bagaimana loyang melekuk mereka menjadi potongan-potongan seragam. 

Aku menyakini eksitensialisme yang diwartakan Sartre punya peran di tengah hukum materialisme sosial Marxisme. Tentang ini pernah kuulas dalam format cerpen yang dipublikasikan jurnal sastra milik pemuda pelajar sebuah sekolah tinggi filsafat yang juga kuterbitkan lagi di Kompasiana (baca: "Lalong Kades").

Sudahlah. Anggap saja ini sekedar curhat, berbagi risau ketika momentum pilkada tiba, ketika orang-orang di kampungku melihat sesamanya, memandang tetangga dan rekan kantornya sebagai kami dan mereka. Yang mana kami, yang mana mereka didasarkan kepada agama, etnis, dan pulau asal. 

Pemilu gubernur adalah kondisi yang paling menyedihkan. Mungkin karena kampungku terdiri dari kurang lebih 7 pulau utama, 15 etnis besar, dan penduduk yang bertutur selusin bahasa ibu.

Lucunya ketika pemilihan gubernur di DKI dahulu, orang-orang di kampungku bersatu mengutuk perilaku FPI dan kubu Anies Baswedan yang mengeksploitasi sentimen SARA. Sungguh, kami adalah contoh terbaik orang-orang yang mampu melihat selembar ranting di mata orang tetapi buta pada balok di mata sendiri.

***

Tilaria Padika

02/03/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun