Sudah diatur bagaimana pembentukan panitia seleksi oleh Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian berdasarkan rekomendasi yang bersifat mengikat dari Komisi ASN, sebuah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik.Â
Sudah diatur syarat-syarat rinci berupa syarat teknis, manajerial, sosial kultural dan kompetensi pemerintahan. Sudah pula diatur bahwa Kepala Daerah hanya meneruskan rekomendasi tiga nama yang direkomendasikan panitia seleksi kepada presiden melalui Mendagri. Sudah pula diatur bahwa proses pembentukan, kerja, dan hasil panitia seleksi diawasi oleh KASN.
Mungkin saja dalam praktiknya, beragam peraturan perundangan itu masih bisa disiasati sehingga ASN melihat bahwa pengisian jabatan dalam OPD masih mengikuti pola balas jasa politik. Akibatnya, hingga kini ASN masih saja terlibat sebagai tim sukses bayangan di dalam pilkada.
Sialnya, ketika ASN terlibat pilkada, mereka membawa setting "politik kantor" ke ranah publik. Politik kantor di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di kampungku cenderung sederhana saja. Promosi jabatan berlandaskan sentimen SARA, terutama suku, pulau, dan agama.Â
Maka bergeraklah para pejabat dan pengharap jabatan, bertemu keluarga dan kerabat di kampung asal mereka, membawa pesan yang mewakili kepentingan mereka. "Pilihlah gubernur atau wali kota atau bupati yang seagama atau sepulau atau sesuku dengan kita. Jika memilih yang lain dari itu, tidak ada 'orang kita' yang menjadi pejabat."
Meskipun dalam kenyataan pembangunan, rakyat yang sesuku, seagama, sepulau dengan gubernur atau bupati/wali kota tidak menikmati porsi yang lebih besar dibandingkan rakyat parokial dan identitas lain, tetap saja sentimen yang disebarluaskan para birokrat ini lumayan bersambut.
Mungkin saja ini karena di kampungku sektor-sektor ekonomi di luar pelayanan publik belum cukup berkembang sehingga posisi birokrat, apalagi yang punya jabatan, sangat dihormati di tengah keluarga dan di kampung asalnya. Apapun kata mereka, akan diikuti saja olah keluarga yang polos dan lugu.
Aku tak sedang mengutuk para ASN, seolah-olah pada mereka satu-satunya tanggung jawab atas kondisi ini harus kita bebankan. Bagaimana pun, mereka berpolitik atas dasar kepentingan subjektif mereka.
Memang demikianlah berpolitik itu. Mereka butuh jabatan, dan mereka alami ketidakadilan --dalam pandangan mereka-- bahwa ketika kepala daerah sebagai pembina kepegawaian adalah orang dari suku, pulau, dan agama lain, mereka tidak akan dipromosikan ke jabatan yang lebih menjamin asap dapur.Â
Mereka terpaksa berpolitik praktis, secara diam-diam, dengan menanggung risiko terkena sanksi jika dilaporkan. Tindakan mereka adalah lumrah semata sebagai respons atas "politik kantor". Serupa juga dengan petani yang harus berpolitik agar kepala daerah terpilih adalah orang yang bervisi memajukan pertanian dan peduli kepentingan petani.
Aku juga tidak sedang mengajak kita menyerah pada hukum "lingkungan material menentukan kesadaran orang". Memang demikian lah pribadi-pribadi dibentuk masyarakat, dibentuk lingkungannya. Tetapi pribadi-pribadi bukan adonan cake yang mengikuti saja bagaimana loyang melekuk mereka menjadi potongan-potongan seragam.Â