Yang mana kah kelas sosial paling politis dalam masyarakat di kampungku? Jika Engkau bertanya begitu akan kujawab: para pengusaha kontraktor dan aparatur sipil negara (ASN).
Aku tak akan menyebut borjuasi sebab di daerah yang serba tertinggal ini belum ada kelas yang demikian itu. Pengusaha banyak. Tetapi sumber kekayaan mereka bukan pada penghisapan nilai lebih dari buruh berupah rendah. Masih terbatas golongan yang demikian itu. Para pengusaha di daerahku menumpuk kekayaannya bukan dari nilai lebih. Bukan. Mereka mendapatkannya dari selisih nilai proyek pemerintah dalam dokumen penawaran dengan jumlah yang sungguh-sungguh mereka keluarkan.
Aku juga tak akan menyebut ASN sebagai bagian dari kelas buruh meski pada dasarnya mereka juga orang-orang makan gaji dan boleh disebut sebagai pekerja sektor publik. Tetapi kultur dan peran sosial mereka, terutama fungsi mereka dalam sistem ekonomi dan politik berbeda dari umumnya buruh. Meski menjual kerja, mereka bagian dari privileged class, walau di lapisan terbawah the ruling class.
Kedua kelas ini adalah yang paling aktif dalam momentum politik di kampungku, terutama saat pilkada. Target dan motif keduanya berbeda.
Pengusaha kontraktor, yang penghasilan terbesarnya datang dari proyek pemerintah, mendukung calon-calon kepala daerah --kita singkat saja sebagai cakada-- dengan sumbangan uang dan fasilitas untuk pemenangan. Biasanya dukungan tidak hanya kepada satu pasangan cakada kecuali mereka yakin calon yang didukung sangat mungkin jadi pemenang.
Dukungan itu bukan ideologis sifatnya. Bukan pula karena bersepakat terhadap platform politik dan rencana program pembangunan yang diusung. Satu-satunya alasan adalah imbal balik berupa kemenangan dalam pelelangan proyek-proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah kelak.
Kasus penangkapan Cakada Marianus Sae dan kontraktor Ivan Ulumbu oleh KPK beberapa waktu lalu hanya contoh yang kebetulan tertangkap dari sekian banyak praktik serupa.
Lain pengusaha, lain pula ASN (PNS dan PPPK). ASN tidak menyumbang uang bagi cakada dukungannya. Memang pada sejumlah pilkada, para ASN ikut mengumpulkan uang ala kadarnya. Peran terbesar ASN adalah menyumbang tenaga sebagai jurkam door to door. Tentu saja dilakukan diam-diam dan hanya menyasar keluarga dan kenalan si aparatur.
Tidak semua aparatur menjadi timses bayangan. Biasanya hanya mereka yang memiliki jabatan tertentu atau yang mendamba jabatan. Imbalan yang diharapkan dari keterlibatannya adalah jabatan, baik dipertahankan atau kalau mungkin dinaikkan lebih tinggi jika cakada dukungannya menang.
Dengan terbitnya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda dan UU 5 Tahun 2014 tentang ASN, serta peraturan perundangan yang lebih operasional seperti PP 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan Permenpan 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian JPT seharusnya tidak ada insentif bagi ASN untuk berpolitik praktis dalam pilkada.
Beragam peraturan perundangan terkait Pemda dan ASN itu mengatur secara rinci syarat dan mekanisme pengangkatan Jabatan Pimpinan Tinggi (utama, madya, dan pratama) yang berlandaskan pada syarat dan kompetensi secara terbuka melalui uji kepatutan dan kelayakan oleh panitia seleksi.