Terima kasih kepada Presiden untuk tidak teken UU MD3. Sikap ini menjadi dukungan moral kepada rakyat yang sudah lebih dahulu menyatakan penolakannya. Apa lagi Tuan Jokowi juga mempersilahkan masyarakat mengajukan judicial review. Pendasarannya, jika tidak teken, pada persidangan di MK nanti pemerintah tidak perlu berhadapan dengan rakyat yang mengajukan judicial review. Kiranya peluang kemenangan rakyat lebih besar.
Hanya saja sikap presiden menyisakan ganjalan di dada. Ada rasa kurang puas, serasa ada yang tak pas. Mengapa Tuan Jokowi tidak sekalian saja menerbitkan Perpu sebagaimana saran banyak pihak, seperti Tuan Mahfud MD yang pakar hukum itu dan sejumlah Parpol pendukung pemerintah di DPR?
Sikap presiden ini membuat saya sedikit ikut anggukkan kepala kepada pernyataan Tuan Fahri, jawara kritik di DPR itu bahwa Tuan Jokowi hanya mengejar pencitraan.
Saya lantas ingat contoh kasus serupa ini, yaitu sikap mantan presiden, Tuan Susilo dalam menghadapi pembahasan Perpu Ormas jadi UU Ormas.
Ketika DPR hendak putuskan perpu menjadi UU Ormas, Tuan Susilo sudah bukan lagi presiden. Tetapi ia masih nahkoda Partai Demokrat. Di tengah banyak kekurangan yang kerap menuai kritik publik, saya akui satu keunggulan Tuan Susilo, komitmennya pada demokrasi prosedural.
Benar bahwa demokrasi prosedural tidak menjamin demokrasi substansial. Sering yang prosedural itu semata-mata kamuflase, bahwa kenyataannya di tataran substansial demokrasi tidak berjalan. Tetapi bukankah ketika yang prosedural dijamin, peluang yang substansial mewujud lebih besar dibandingkan jika yang prosedural pun nol saja.
Ambil saja contoh di ring tinju. Aturan dibuat agar pertandingan berlangsung fair. Kita tidak bisa jamin bakal sungguh-sungguh fair sebab mungkin saja di luar pertandingan, promotor dan para juragan judi telah mengatur siapa yang akan menang. Opera sabun --bukan main sabun, yaaa -- kata orang-orang. Tetapi tanpa aturan, peluang pertandingan berjalan tidak adil akan lebih besar lagi. Karena tidak diatur, petarung bisa saja memukul lawan di batang dan biji kemaluan; Â menyisipkan lempeng baja atau mengenakan cicin bermata tajam di balik sarung tinju. Bisa juga sekalian saja membawa golok ke dalam ring.
Kita kembali ke contoh kasus.
Waktu itu Partai Demokrat bersikap seperti partai-partai oposisi, menolak muatan anti demokrasi dalam Perpu Ormas. Penolakan itu terutama terkait wewenang pemerintah untuk tanpa melalui proses peradilan yang fair membubarkan organisasi masyarakat karena dinilai bertentangan dengan Pancasila. Sedikit catatan, jika sekarang parpol-parpol itu justru ngotot meloloskan UU MD3 yang juga bermuatan anti demokrasi, tiada lain sebabnya selain pada hakikatnya kita sedang menyaksikan tengkar para demokrat gadungan.
Bagi yang belum tahu, subjektivitas pemerintah dalam menafsirkan Pancasila dan dengan semena-mena membubarkan ormas adalah hal yang dikritik dari Orde Baru pada reformasi 1998 dahulu. Rezim Soeharto dikatakan diktator ya salah satunya karena hal ini.
Maka posisi Tuan Susilo sudah benar. Demokrasi harus diselamatkan dari kemungkinan kembali ke masa Orba. Ormas harus diatur tetapi dengan cara yang tidak melawan demokrasi. Soalnya kini bagaimana alat politik Tuan Susilo, Partai Demokrat bertindak praktis untuk melucuti muatan anti-demokrasi dalam Perpu yang hendak dijadikan UU itu.
Ketika partai oposan seperti Gerindra, PAN, dan PKS sama sekali menolak, Tuan Susilo justru  perintahkan anak buahnya di parlemen memperjuangkan opsi menerima dengan catatan. Catatan-catatan itu salah satunya terkait mekanisme pembubaran Ormas harus melalui peradilan yang fair.
Tampaknya anak buah Tuan Susilo banyak yang resah dengan titah itu. Dari sudut pandang pencitraan, mereka memandang langkah itu bernilai nol. Yang akan mendapat kredit atas lolosnya UU Ormas adalah gerbong partai pemerintah: PDIP dan pelengkapnya. Sementara masyarakat yang anti UU Ormas, terutama yang termakan malapropaganda bahwa UU itu dibuat khusus untuk merepresi Islam itu sudah pasti memberikan kredit kepada Gerindra, PAN, dan PKS yang sama sekali menolak.
Rupanya Tuan Susilo dalam kasus ini tidak berpikir semata-mata pencitraan. Artinya mempertimbangkan pencitraan tetapi tanpa mengorbankan substansinya, menyelamatkan demokrasi. Maka Tuan Susilo membuat rekaman video dari Australia untuk membuka mata nalar para anak buahnya. Isi video itu menjelaskan mengapa langkah setuju dengan catatan menjadi pilihan PD. Kemenangan PD adalah ketika UU tetap gol tetapi dengan perubahan pada mekanisme pembubaran ormas.
Langkah Tuan Susilo tepat. Pencitraan dia dapat, harapannya substansi juga tercapai kelak. Setelah Perpu otoritarian Nomor UU No. 2 Tahun 2017 resmi menjadi UU pengganti UU 17 Â 2013, kita berharap pemerintah memenuhi janjinya kepada PD agar muatan otoriter seperti pembubaran ormas tanpa peradilan dapat dibuang dari UU itu saat revisinya di 2018 nanti. Saat itu tiba, orang-orang yang berpandangan bahwa ada ancaman otoritarian dalam UU Ormas akan berterima kasih kepada SBY. Tentu saja, kredit itu tidak akan diperoleh dari mereka yang berpandangan berbeda, apalagi dari 'kaum pokoknya.' Pokoknya anti, pokoknya pro.
Please, jangan salah menduga bahwa saya menolak pembubaran organisasi yang bertentangan dengan Pancasila. Yang saya tolak adalah mekanisme pembubarannya. Saya berprinsip deontologis, menolak tindakan berprinsip consequentialism-Machiavellian. Sebab jika kita halalkan cara demi tujuan, maka apa bedanya kita dengan HTI yang dibubarkan itu, atau dengan Komunis Stalinis? HTI meyakini pembebasan manusia, kondisi ideal kemanusiaan bisa diwujudkan dengan kediktatoran berbasis identitas agama. Komunis stalinis berusaha menciptakan keadilan melalui kediktatoran partai tunggal. Mereka membenarkan kediktatoran demi tujuan mulia. Bukankah menjaga tegaknya Pancasila dengan bertindak sewenang-wenang adalah serupa pula demikian?
Coba lihat lagi analogi pertandingan tinju. Petinju yang memang melanggar berat aturan pertandingan harus dikeluarkan dari pertandingan, bahkan dilarang bertinju. Mantan juara tinju kelas berat Inggris, Chisora  dilarang bertinju selama dua tahun dan harus membayar denda  25 ribu pounds setelah menghajar calon lawannya, Dillian White, pakai meja. Tyson 'Gypsy King' Fury kena sanksi skorsing karena terbukti menggunakan doping benzoylecgonine.Siapa yang memberi mereka sanksi? Sebuah dewan pengawas, British Boxing Board Control (BBCofC). Mengapa dewan ini? Sebab merekalah yang diberikan wewenang untuk secara fair memeriksa dan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk pembelaan diri tersangka, sebelum menjatuhkan keputusan.
Demikian pula dengan ormas yang melanggar peraturan, terutama dasar negara dan konstitusi. Adalah negara yang berhak membubarkannya. Negara adalah sistem kekuasaan, di dalamnya ada subsistem seperti pemerintah, birokrasi, lembaga peradilan, dan lain-lain. Sebagai subsistem, isi dalam pemerintah adalah agen politik. Ormas juga merupakan agen politik. Antar political agency alamiah berkompetisi dan berkonflik. Sama sekali tidak adil jika satupolitical agency diberikan kekuasaan untuk menentukan keberlangsungan political agency lainnya. Conflict of interest menyebabkan wewenang itu cenderung dikorup, tidak akan digunakan secara adil.
Karena itulah wewenang untuk membubarkan ormas merupakan domain lembaga peradilan, sebuah subsistem lain dari negara, bukan wewenang pemerintah.
Jika sudah maklum landasan saya, mari lanjutkan.
Belajar dari kasus taktik Tuan Susilo, saya masih berharap presiden mau menerbitkan Perpu untuk mengganti UU MD3. Menyerahkan nasip UU ini kepada judicial review adalah berjudi, sebab meski berpeluang kuat MK memenangkan para pengaju, tetapi siapa bisa jamin hasilnya kelak akan seperti yang dipertimbangkan presiden?
Memang dengan menyerahkan penyelesaikan pro-kontra terhadap UU ini kepada MK, Presiden bisa bebas dari pro-kontra dengan DPR. Presiden tidak perlu sibuk menangkis aib yang dituduhkan gara-gara Tuan Laoly, pembantunya itu kurang koordinasi. "Bijimane itu, menteri Ente ikut bahas, ikut ngangguk-ngangguk, nah sekarang Ente ogah teken." Mungkin Tuan Presiden tak hendak mendengar komentar seperti itu datang dari Tuan Fahri atau Tuan Fadli.
Menurut saya, Tuan Jokowi seharusnya tidak perlu terlalu risau dengan komentar-komentar miring demikian. Bagaimana pun Tuan Jokowi hendak bermanis-manis dengan DPR, suara-suara miring pasti terus meluncur. Presiden perlu ingat, ini adalah era 'multi-Partai single-platform'. Partai-partai boleh beragam berdera, warna, dan yel-yelnya, tetapi urusan haluan negara, urusan kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik mendasar serupa saja dari A hingga Z. Paling yang sedikit berbeda adalah urusan kedekatan dengan kelompok-kelompok bekas milisi PAM Swakarsa bentukan TNI (Tuan Wiranto) era Sidang Istimewa 1999 dahulu.
Jadi, alih-alih cemas cibir Tuan Fahri, sebaiknya presiden lebih merisaukan lolosnya UU MD3 dari judicial review. Â Mungkin dengan menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU MD3 yang anti-demokrasi ini, Tuan Jokowi bisa menebus dosa menerbitkan Perpu Ormas yang juga punya muatan anti-demokrasi dan telah sah menjadi UU Ormas. Ayo, Tuan Jokowi, terbitkan Perpu. Contohi SBY dalam soal komitmen pada demokrasi prosedural, jangan pada karakter neoliberalnya.
***
Tilaria Padika
Timor, 26/02/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H