Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

UU MD3, Jokowi Sebaiknya Mencontohi SBY

28 Februari 2018   17:00 Diperbarui: 28 Februari 2018   23:17 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tribunnews.com

Maka posisi Tuan Susilo sudah benar. Demokrasi harus diselamatkan dari kemungkinan kembali ke masa Orba. Ormas harus diatur tetapi dengan cara yang tidak melawan demokrasi. Soalnya kini bagaimana alat politik Tuan Susilo, Partai Demokrat bertindak praktis untuk melucuti muatan anti-demokrasi dalam Perpu yang hendak dijadikan UU itu.

Ketika partai oposan seperti Gerindra, PAN, dan PKS sama sekali menolak, Tuan Susilo justru  perintahkan anak buahnya di parlemen memperjuangkan opsi menerima dengan catatan. Catatan-catatan itu salah satunya terkait mekanisme pembubaran Ormas harus melalui peradilan yang fair.

Tampaknya anak buah Tuan Susilo banyak yang resah dengan titah itu. Dari sudut pandang pencitraan, mereka memandang langkah itu bernilai nol. Yang akan mendapat kredit atas lolosnya UU Ormas adalah gerbong partai pemerintah: PDIP dan pelengkapnya. Sementara masyarakat yang anti UU Ormas, terutama yang termakan malapropaganda bahwa UU itu dibuat khusus untuk merepresi Islam itu sudah pasti memberikan kredit kepada Gerindra, PAN, dan PKS yang sama sekali menolak.

Rupanya Tuan Susilo dalam kasus ini tidak berpikir semata-mata pencitraan. Artinya mempertimbangkan pencitraan tetapi tanpa mengorbankan substansinya, menyelamatkan demokrasi. Maka Tuan Susilo membuat rekaman video dari Australia untuk membuka mata nalar para anak buahnya. Isi video itu menjelaskan mengapa langkah setuju dengan catatan menjadi pilihan PD. Kemenangan PD adalah ketika UU tetap gol tetapi dengan perubahan pada mekanisme pembubaran ormas.

Langkah Tuan Susilo tepat. Pencitraan dia dapat, harapannya substansi juga tercapai kelak. Setelah Perpu otoritarian Nomor UU No. 2 Tahun 2017 resmi menjadi UU pengganti UU 17  2013, kita berharap pemerintah memenuhi janjinya kepada PD agar muatan otoriter seperti pembubaran ormas tanpa peradilan dapat dibuang dari UU itu saat revisinya di 2018 nanti. Saat itu tiba, orang-orang yang berpandangan bahwa ada ancaman otoritarian dalam UU Ormas akan berterima kasih kepada SBY. Tentu saja, kredit itu tidak akan diperoleh dari mereka yang berpandangan berbeda, apalagi dari 'kaum pokoknya.' Pokoknya anti, pokoknya pro.

Please, jangan salah menduga bahwa saya menolak pembubaran organisasi yang bertentangan dengan Pancasila. Yang saya tolak adalah mekanisme pembubarannya. Saya berprinsip deontologis, menolak tindakan berprinsip consequentialism-Machiavellian. Sebab jika kita halalkan cara demi tujuan, maka apa bedanya kita dengan HTI yang dibubarkan itu, atau dengan Komunis Stalinis? HTI meyakini pembebasan manusia, kondisi ideal kemanusiaan bisa diwujudkan dengan kediktatoran berbasis identitas agama. Komunis stalinis berusaha menciptakan keadilan melalui kediktatoran partai tunggal. Mereka membenarkan kediktatoran demi tujuan mulia. Bukankah menjaga tegaknya Pancasila dengan bertindak sewenang-wenang adalah serupa pula demikian?

Coba lihat lagi analogi pertandingan tinju. Petinju yang memang melanggar berat aturan pertandingan harus dikeluarkan dari pertandingan, bahkan dilarang bertinju. Mantan juara tinju kelas berat Inggris, Chisora  dilarang bertinju selama dua tahun dan harus membayar denda  25 ribu pounds setelah menghajar calon lawannya, Dillian White, pakai meja. Tyson 'Gypsy King' Fury kena sanksi skorsing karena terbukti menggunakan doping benzoylecgonine.Siapa yang memberi mereka sanksi? Sebuah dewan pengawas, British Boxing Board Control (BBCofC). Mengapa dewan ini? Sebab merekalah yang diberikan wewenang untuk secara fair memeriksa dan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk pembelaan diri tersangka, sebelum menjatuhkan keputusan.

Demikian pula dengan ormas yang melanggar peraturan, terutama dasar negara dan konstitusi. Adalah negara yang berhak membubarkannya. Negara adalah sistem kekuasaan, di dalamnya ada subsistem seperti pemerintah, birokrasi, lembaga peradilan, dan lain-lain. Sebagai subsistem, isi dalam pemerintah adalah agen politik. Ormas juga merupakan agen politik. Antar political agency alamiah berkompetisi dan berkonflik. Sama sekali tidak adil jika satupolitical agency diberikan kekuasaan untuk menentukan keberlangsungan political agency lainnya. Conflict of interest menyebabkan wewenang itu cenderung dikorup, tidak akan digunakan secara adil.

Karena itulah wewenang untuk membubarkan ormas merupakan domain lembaga peradilan, sebuah subsistem lain dari negara, bukan wewenang pemerintah.

Jika sudah maklum landasan saya, mari lanjutkan.

Belajar dari kasus taktik Tuan Susilo, saya masih berharap presiden mau menerbitkan Perpu untuk mengganti UU MD3. Menyerahkan nasip UU ini kepada judicial review adalah berjudi, sebab meski berpeluang kuat MK memenangkan para pengaju, tetapi siapa bisa jamin hasilnya kelak akan seperti yang dipertimbangkan presiden?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun