Memang dengan menyerahkan penyelesaikan pro-kontra terhadap UU ini kepada MK, Presiden bisa bebas dari pro-kontra dengan DPR. Presiden tidak perlu sibuk menangkis aib yang dituduhkan gara-gara Tuan Laoly, pembantunya itu kurang koordinasi. "Bijimane itu, menteri Ente ikut bahas, ikut ngangguk-ngangguk, nah sekarang Ente ogah teken." Mungkin Tuan Presiden tak hendak mendengar komentar seperti itu datang dari Tuan Fahri atau Tuan Fadli.
Menurut saya, Tuan Jokowi seharusnya tidak perlu terlalu risau dengan komentar-komentar miring demikian. Bagaimana pun Tuan Jokowi hendak bermanis-manis dengan DPR, suara-suara miring pasti terus meluncur. Presiden perlu ingat, ini adalah era 'multi-Partai single-platform'. Partai-partai boleh beragam berdera, warna, dan yel-yelnya, tetapi urusan haluan negara, urusan kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik mendasar serupa saja dari A hingga Z. Paling yang sedikit berbeda adalah urusan kedekatan dengan kelompok-kelompok bekas milisi PAM Swakarsa bentukan TNI (Tuan Wiranto) era Sidang Istimewa 1999 dahulu.
Jadi, alih-alih cemas cibir Tuan Fahri, sebaiknya presiden lebih merisaukan lolosnya UU MD3 dari judicial review. Â Mungkin dengan menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU MD3 yang anti-demokrasi ini, Tuan Jokowi bisa menebus dosa menerbitkan Perpu Ormas yang juga punya muatan anti-demokrasi dan telah sah menjadi UU Ormas. Ayo, Tuan Jokowi, terbitkan Perpu. Contohi SBY dalam soal komitmen pada demokrasi prosedural, jangan pada karakter neoliberalnya.
***
Tilaria Padika
Timor, 26/02/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H