Lamat-lamat Jyestha mendengar suara banyak orang meneriakan yel-yel, "Timor Leste!, Timor Leste! Timor Leste!" Tiba-tiba terdengar bunyi rentetan tembakan dan orang-orang berteriak panik. Jyestha berusaha membuka mata dan menyadari jika ia tertidur di pinggir pekuburan. Di dekatnya orang-orang berlarian, tubuh-tubuh bergelimpangan, dan suara tembakan terus terdengar, mengimbangi pekik ngeri perempuan dan suara meregang nyawa para pemuda.
Dalam kondisi belum benar-benar sadar, otak Jyestha berpikir keras. "Ya, ampun, ini Tragedi Santa Cruz, 12 November 1991!" Mungkin arloji time-travel telah kehabisan energi setelah mengantarkan Cecilia ke kampung halamannya. Seharusnya ia menempuh perjalanan 68 tahun menuju 12 November 2017. Kekurangan energi membuat arloji time-travel  hanya mampu menempuh jarak 43 tahun. Setingan semi-otomatis menyebabkan arloji mengantarkannya ke ruang berlangsungnya peristiwa penting dalam waktu itu.
Jyestha harus segera keluar dari waktu dan tempat ini. Ia merogoh kantung belakang untuk meraih arloji cadangan. Sial! Â Sepertinya terjatuh di Jepang. Â Baiklah, pakai saja yang soak ini. Entah kapan dan di mana ia akan mendarat terserah, asalkan bisa selamat dari sini dan tidak ikut menjadi bagian dari 200an pemuda Timor Leste yang tewas di ujung senjata pasukan pimpinan Prabowo.
***
"Revolusiiiii! Revolusiiiii! Revolusi sampai menang. Demokrasiiiii! Demokrasiiii! Demokrasi sampai mati!" terdengar gemuruh teriakan dari ratusan ribu pemuda.
"Ah, mati aku. Arloji ini rusak. Aku pasti belum beranjak dari Timor Leste."
"Tolak...tolak...tolak Habibiiiiii, tolak habibi sekarang juga!"
Ini tidak mungkin Timor Leste. Habibie lah yang mengeluarkan keputusan penyelenggaraan referendum di Timor Leste. Jika ini Timor Leste tentulah terima kasih yang seharusnya diteriakkan.
Hari sudah gelap. Lampu-lampu jalan dan gedung-gedung tinggi berderet. Jalanan dipenuhi orang-orang, sepertinya para pemuda dan mahasiswa, tampak dari jaket almamater dan bendera-bendera merah berlambang bintang kuning berkibar-kibar. Mereka berada di dalam barisan panjang yang entah  berujung di mana.  Yel-yel revolusi dan tolak Habibie masih terus diteriakkan, diselingi lagu Darah Juang yang diciptakan John Tobing.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Para  pengunjukrasa berlarian. Sebagian justru maju dan melemparkan molotov.
Jyestha memilih ikut lari dan terbawa arus massa menuju Kampus Atmajaya. Ia berbaur dengan para mahasiswa yang terus bergelombang masuk ke area kampus.