Dr. K boleh terhindar dari kemacetan pagi dengan mendiskon jam tidurnya. Tetapi di sore hari, karena harus pulang jam 5 sebagaimana pekerja lain, Dr. K seperti orang lain di Jakarta. Mental dan fisiknya dicambuki jejal merayap kendaraan di jalanan ibu kota.
Tentu saya  tidak menyalahkan Dr. K, "Bapak sih, nggak resign saja." Saya sadar, sebagaimana diulas Guy Standing (The Precariat: The New Precarious Class), usia harapan hidup yang meningkat dan kendornya relasi tradisional pada nucleus family perkotaan adalah faktor yang membuat para lansia masih aktif bekerja.
Satu-satunya jalan untuk membebaskan Dr. K dari 'neraka jalanan', juga untuk membebaskan diri kita sendiri dan demi --ujungnya pada--peningkatan produktivitas pekerja di ibu kota adalah dengan terus mencari alternatif solusi atas masalah kemacetan: meracik inovasi.
Mass Rapid Transit itu wajib. Tetapi sebelum tercapai, ridesharing adalah solusinya
Mass Rapid Transit, terutama yang rail-based -- light rail transit (LRT) dan heavy rail transit (Metro)-- adalah solusi yang banyak diteriakkan orang untuk mengatasi kemacetan. Tetapi mewujudkannya tidak semudah bikin puisi atau menulis artikel. Hal itu membutuhkan investasi besar dan jangka panjang. Juga ada problem pelik penyediaan lahan di sana. Lagipula tidak mungkin rel KRL menggurita ke seluruh tubuh kota.
Selama ini perdebatan dalam penanganan kemacetan di kota besar berkutat pada supply side (meningkatkan panjang dan lebar jalan dan rel serta daya tampung dan kenyamanan sarana transportasi publik ) dan demand side (mendidik kesadaran masyarakat untuk menggunakan sarana transportasi publik). Seringkali ini berjalan ibarat perdebatan telur dan ayam. Sebelum sarana-prasarana transportasi publik dibenahi, masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Begitu jalan-jalan baru dan rel KRL selesai dibangun, jumlah kendaraan sudah jauh meloncat.
Bagaimana jika kedua sisi pendekatan itu bisa dirangkum sekali pukul hanya dengan melakukan revolusi pada model-bisnis transportasi? Ridesharing! Penemuan kembali yang revolusioner atas solusi kemacetan ibu kota.
Ridesharing adalah kultur dan bisnis transportasi yang sebenarnya telah berkembang lama. Jejaknya di dunia bisa dilacak sejak kemunculan jitney di California pada 1914.[1] Di Indonesia, oplet, mikrolet angkot dan angdes, serta bus kota adalah jitney, adalah ridesharing.
Ridesharing masa kini yang dikembangkan Uber adalah sesuatu yang berbeda. Ia berbasis kendaraan pribadi.Â
Orang-orang yang memiliki kendaraan pribadi didorong untuk mendaftarkan mobil atau motornya sebagai penyedia jasa ridesharing. Orang-orang yang hendak bepergian dari dan ke arah yang beririsan (carpolling) dengan pemilik mobil dapat menjadi penumpang dengan berbagi biaya.Â
Solidaritas dengan benefit bagi individu dan anti-free-riderÂ