Rambo si ayam jago itu kaget bukan main. Hampir saja ia terjatuh dari pokok mangga. Ia baru saja hendak berteriak jumawa mengabarkan terbitnya fajar. Tetapi rupanya Cintya, gadis tetangga rumah sudah tampak loncat-loncat kecil berolah raga di halaman belakang. Hati Rambo terasa pedih, kebanggaannya sebagai juru warta kedatangan fajar baru saja ditelikung. Tetapi dilihatnya Cintya si atlit olimpiade itu begitu lincah dan sumringah, pedih dan kecewa menguap berganti kegembiraan dan rasa penasaran.
"Mengapa gadis itu begitu riang dan bersemangat pagi ini?" Tanya Rambo pada buah-buah mangga ranum yang menggantung.
"Entahlah, mungkin Ibu bisa menerka?" Buah-buah mangga ranum menoleh pada pokok mereka.
"Ibu pun tak tahu, coba kita tanyakan pada angin pagi," kata pokok manga.
"Mungkin ia sudah merasa yakin akan meraih medali emas di Olimpiade mendatang. Tetapi agar tahu pasti, baiklah aku bersama mentari menyelidikinya. Kami akan mengikuti ke mana Cintya pergi hari ini dan bertanya pada segala apapun yang mungkin tahu." Angin pagi menoleh pada mentari. Mentari mengedip, siap melakukan tugas itu.
***
 "Cintya ke salon hari ini. Ia berusaha menjadi secantik mungkin. Sepertinya Ia sedang mempersiapkan diri menghadapi peristiwa istimewa, seperti perawan hendak meninggalkan masa lanjang dengan berikrar di depan altar suci." Angin mewartakan apa yang ia dan mentari lihat siang tadi.
"Cintya hendak menikah? Siapakah sang kekasih beruntung? Belum pernah seorang lelaki bertandang ke rumahnya sejak aku menjadi satu-satunya ayam jago di kampung ini." Rambo merasa sedikit cemburu.
"Kami belum tahu itu."
"Kalau begitu bisakah kalian berdua kembali mengikuti kemana pun ia pergi," pinta pokok mangga.
Angin dan mentari mengangguk.