Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen| Curhat Lelaki Tua di Ujung Malam

15 Januari 2017   09:40 Diperbarui: 1 April 2017   09:05 2456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: justinlewis.me

Seseorang sedang memegang dan menggoncang-goncang betis saya. Segera saja saya buka mata dan terkejut oleh sosok lelaki tua di tepi ranjang. “Bangun. Bung… bangun, Anak muda… ini belum sungguh larut,” katanya.

“Heh, Pak tua, siapa Kau? Mengapa Engkau ada di sini? Bagaimana bisa masuk?” Saya bertanya panik, berusaha memahami keadaan namun kalut memikirkan apa yang harus dilakukan.

Nanti semua kujawab. Kini bangunlah. Kita ngopi dulu. Kulihat ada setoples kopi Flores di dapurmu. Aku butuh teman bicara.”

Saya segera duduk, turun dari ranjang, lalu mengikutinya menuju dapur. Pikiran saya meraba-raba siapa gerangan orang tua ini.

Ia telah menarik kursi, duduk dan menyalakan sebatang rokok kretek. Saya membuatkan kopi dua gelas sambil masih berusaha mengingat-ingat.

Ia menyambut segelas kopi panas, menghirup aromanya dalam-dalam dengan ekspresi wajah kenikmatan, lalu membiarkan saya duduk sebelum membuka percakapan.

Anak muda, soal pertanyaan-pertanyaan kalutmu tadi nanti saja kujawab. Kini kita bicara tentang ramai persoalan di luar sana.”

“Ada persoalan apa, Orang tua? Tak kudengar ribut-ribut di luar.”

Bukan…bukan itu maksudku. Kautahu bangsa ini sedang sakit. Orang-orang berdebat tentang hal yang seharusnya sudah lama tuntas. Soal semangat menghormati keberagaman maksudku.” Ia berjeda sebentar, meneguk kopi lalu menarik dalam-dalam asap rokok kreteknya. “Aaaahhh, nikmat sekali kopi buatanmu. Rupanya sama kita, tak suka melarutkan gula ke dalam murni kopi.

Saya belum berniat menanggapinya. Pikiran ini masih berusaha mengingat-ingat di mana pernah berjumpa dan ke arah mana pembicaraannya.

Kautahu, Anak muda, sejak zaman Majapahit dahulu, bangsa di Nusantara ini sudah tuntas dengan hidup berdampingan di dalam perbedaan. Itu yang diceritakan Dang Acarya Nadendra di dalam kakawin Desawarnana pada 1365 dahulu.”

Saya mengernyit tak paham.

Ah, benar, Engkau lebih akrab dengan nama Negara Kertagama dan nama pena Nedendra, Prapanca.” Ia kembali mencecap kopi dan menghisap dalam-dalam rokoknya.

"Oh, iya, kalau itu maksudmu, kutahu." Saya menyalakan rokok dan membiarkannya terus bicara.

Kini bangsa ini seolah kembali menjadi bayi. Orang-orang enggan berdialog untuk saling paham maksud dan kehendak, tetapi berlomba-lomba membenarkan diri dengan segala cara. Termasuk dengan penipuan-penipuan yang kalian sebut hoax itu.”

“Ah kalau soal itu tak usah kaukuatir, Orang tua. Pemerintah sudah akan mengambil langkah. Akan ada badan khusus untuk itu. Sejumlah orang digaji besar untuk pasang mata terhadap lalu-lintas percakapan daring dan mengambil tindakan jika ada yang menyebarkan kebohongan.” Saya mulai terseret masuk ke dalam percakapan.

Ah, itulah yang aku kuatirkan!” Nada suaranya tiba-tiba menghentak.

“Mengapa, Orang tua? Bukankah itu baik untuk mengakhiri kekisruhan ini?” Saya tak mengerti.

Anak muda, dalam sejarah, hoax justru lebih sering berasal dari penguasa.”

“Ah, bagaimana kaubisa bilang begitu?”

Seorang tua dari Itali dahulu, Antonio, bicara tentang dua strategi, dua cara untuk membuat rakyat tunduk patuh pada kekuasaan dan kehendak tuan-tuan meski menindas dan menghisap. Cara pertama adalah dengan memaksakan kepatuhan, menciptakan ketakutan. Hukum, polisi, penjara, tentara, dan bahkan milisi adalah alat-alat yang digunakan untuk itu.”

Ia meneguk kopi sebentar lalu buru-buru melanjutkan. Mungkin karena takut saya potong.

Cara kedua adalah dengan memengaruhi alam pikir rakyat agar menerima kondisi yang menyengsarakan mereka sebagai kewajaran, sebagai hal yang memang sudah demikian adanya. Alat-alat untuk ini adalah sekolah, lembaga agama, media massa, produk-produk kesenian dan sastra, bahkan keluarga. Lembaga-lembaga ini menyebarkan nilai-niai, wacana dan narasi yang melegitimasi sistem dan kebijakan-kebijakan penguasa. Menciptakan dan menyebarkan hoax adalah salah satu cara menanam kesadaran palsu pada kepala rakyat. Maka dengan ketakutan dan kebodohan inilah rakyat ditenangkan, dikendalikan, dan orde terus berlangsung.”

Saya kurang sreg dengan penjelasan itu. “Ah, itu kan teori saja, Orang tua. Apa buktinya itu sungguh terjadi?”

Hmmm, kasihan kau, Anak muda. Kautahu bagaimana era pemerintahan serdadu yang lalu itu bisa berjaya? Landasannya adalah hoax. Mereka menyebarkan penipuan melalui siaran radio, buku-buku sejarah, novel-novel dan puisi, bahkan filem wajib tonton, yang isinya cerita palsu jika lawan mereka adalah orang-orang jahat yang tega memotong kelamin dan mencongkel mata para pimpinan serdadu. Padahal hasil otopsi menunjukkan tidak ada mata yang dicongkel, tidak ada penis yang disayat. Bahkan sejumlah serdadu besar itu ada yang belum dikhitan meski budayanya mengharuskan demikian. Hoax itu disebarkan agar rakyat merestui sepak terjang para serdadu di dalam membantai lawan-lawan, jutaan jumlahnya. Sebagian rakyat turut serta bersorak-sorai menyemangati aksi para serdadu, bahkan ada yang ikut serta.”

“Yah, kalau soal itu aku pernah mendengarnya dari kerabat yang bekerja sebagai peneliti di Ibu Kota sana. Mereka bahkan mengancam penjara orang-orang yang menceritakan versi kisah berbeda.”

Nah, kuharap kaupaham, Anak muda. Bagaimana mungkin pihak yang paling mungkin menyebarkan hoax justru menjadi wasit, menjadi juri yang menertibkan. Seperti menyapu dengan sapu kotor.”

Sruuuppp. Ia menghirup kopi lebih panjang, seperti hendak merayakan kemenangannya merebut kesadaran saya.

“Tetapi apa jalan keluar atas kondisi tak sehat ini, Orang tua? Orang-orang tidak mungkin dibiarkan menyebarkan berita bohong demi memenangkan kepentingan mereka.”

Puluhan tahun lampau, Anak muda. Ketika aku masih aktif berpikir dan menulis. Aku pernah menangisi kondisi ini, kondisi yang menjauhkan masyarakat dari adab rasional. Sejatinya bahasa, percakapan, adalah media mencapai saling pengertian. Namun dalam kesehariannya, orang-orang tidak sungguh bercakap-cakap. Bahasa hanya dijadikan tunggangan untuk memenangkan kepentingan. Orang-orang bercakap bukan untuk saling paham, tetapi untuk menaklukan lawan bicara, untuk membuat lawan menyetujui maksud pembicara.”

Rokok di tangannya sudah sangat pendek, hampir membakar kedua jari yang menjepit. Ia mematikannya pada asbak, lalu mengambil sebatang baru dan menyalakannya.

Huh, tua bangka tak kenal umur. Aneh dia masih saja terlihat sehat.

Jangan kaupedulikan madat rokokku. Aku lanjutkan. Karena tujuannya penaklukan, maka digunakanlah alat-alat non-komunikatif. Ya antara lain hoax dan pelarangan-pelarangan, ancaman-ancaman, stigma-stigma. Jadi peraturan yang membatasi itu sama saja dengan hoax, sama-sama alat untuk mematikan wacana, sama-sama bukan jalan untuk saling mengerti. Dulu aku menyebut praktik komunikasi seperti ini sebagai tindakan strategis.”

“Lalu menurutmu bagaimana baiknya, Orang tua?” Saya kian gemas tak sabar.

Orang harus dilatih untuk taat pada perangkat komunikasi, yaitu argumentasi dan pembuktian. Tidak ada jalan lain. Lawanlah hoax dengan argumentasi dan bukti-bukti. Itulah tindakan komunikatif. Itu lah komunikasi normal. Sementara hoax dan segala macam lembaga pengontrol adalah parasit, adalah patologis yang menghambat terbentuknya adab demokratis, adab rasional.”

“Ah, itu sulit, Orang tua.”

Sulit tetapi lebih baik. Apakah kaularang anak bermain lilin dengan cara memberikannya obor?”

Benar juga si tua Bangka ini. Melarang masyarakat menyebarkan hoax dengan membiarkan pemerintah membatasi komunikasi. Hoax dan pelarangan oleh otoritas adalah sama-sama perangkat non-komunikasi, sama-sama bersifat memaksakan kemenangan  narasi dengan cara curang. Yang satu penipuan, yang lain pengekangan. Apalagi jika penguasa memanfaatkan lembaga-lembaga itu untuk melindungi dirinya dari kritik masyarakat. Bukankah sejarah bangsa ini memang demikian adanya.

Aahhh, sudah habis kopi lezat ini. Anak muda, Aku harus pamit dulu. Terima kasih kopi dan waktumu.”

“Sebentar! Siapa namamu, Orang tua?

Panggil saja Yurgen.”

“Baiklah Kakek Yurgen. Boleh suatu waktu kaubawakan bukumu itu?”

Ah, kaupunya itu, Anak muda. Lihat yang ketiga dari kanan di baris teratas rak bukumu yang sebelah kiri. Pun kaupernah membacanya. Hanya saja hiruk-pikuk hidup membuatmu lupa.”

Saya mengambil kursi, berdiri di atasnya untuk menjangkau buku dimaksud. Upps, ini dia. The Theory of Communicative Action.

“Ah, jadi kau…” Ketika saya toleh, Ia telah lenyap. Daun pintu samping berayun-ayun tertiup angin.

Baca kembali Prison Notebooks punya Antonio. Ada di baris paling bawah pada rak yang kanan.” Sayup-sayup suaranya menjauh.

“Triiingggg tel trriiingg lol triiiiingg let…” Alarm pada telepon genggam saya berbunyi keras.  Saya terjaga. Ini hari Minggu. (TP).

***

Tilaria Padika

Timor, 15/01/2017

Baca Juga: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun