Saya mengernyit tak paham.
“Ah, benar, Engkau lebih akrab dengan nama Negara Kertagama dan nama pena Nedendra, Prapanca.” Ia kembali mencecap kopi dan menghisap dalam-dalam rokoknya.
"Oh, iya, kalau itu maksudmu, kutahu." Saya menyalakan rokok dan membiarkannya terus bicara.
“Kini bangsa ini seolah kembali menjadi bayi. Orang-orang enggan berdialog untuk saling paham maksud dan kehendak, tetapi berlomba-lomba membenarkan diri dengan segala cara. Termasuk dengan penipuan-penipuan yang kalian sebut hoax itu.”
“Ah kalau soal itu tak usah kaukuatir, Orang tua. Pemerintah sudah akan mengambil langkah. Akan ada badan khusus untuk itu. Sejumlah orang digaji besar untuk pasang mata terhadap lalu-lintas percakapan daring dan mengambil tindakan jika ada yang menyebarkan kebohongan.” Saya mulai terseret masuk ke dalam percakapan.
“Ah, itulah yang aku kuatirkan!” Nada suaranya tiba-tiba menghentak.
“Mengapa, Orang tua? Bukankah itu baik untuk mengakhiri kekisruhan ini?” Saya tak mengerti.
“Anak muda, dalam sejarah, hoax justru lebih sering berasal dari penguasa.”
“Ah, bagaimana kaubisa bilang begitu?”
“Seorang tua dari Itali dahulu, Antonio, bicara tentang dua strategi, dua cara untuk membuat rakyat tunduk patuh pada kekuasaan dan kehendak tuan-tuan meski menindas dan menghisap. Cara pertama adalah dengan memaksakan kepatuhan, menciptakan ketakutan. Hukum, polisi, penjara, tentara, dan bahkan milisi adalah alat-alat yang digunakan untuk itu.”
Ia meneguk kopi sebentar lalu buru-buru melanjutkan. Mungkin karena takut saya potong.