Barangkali post-journo syndrome ini nggak akan menyiksaku andai malam itu aku tak menyusup di Jazzy Lounge. Sebagai penggemar ekstrim Incognito yang low profile dan low budget, kesempatan menikmati penampilan mereka secara langsung tentu haram dilewatkan. Sayang, majalahku majalah bisnis. Bukan majalah entertainment atau lifestyle yang kartu persnya bisa jadi freepass masuk lounge.
Beruntung aku mengenal Seb. Ia teman main Andri yang sedang melancong di Indonesia. Aku rasa Seb terlahir tanpa urat malu dan enzim kreatif dalam dosis ekstra. Ia selalu punya cara untuk bersenang-senang tanpa keluar duit banyak.
Modal tampang bule dan passpor UK, body-guard di backstage percaya Seb adalah sepupu Mo Brandis. Parahnya, Seb juga sempat berbisik ke mas-mas berbadan gorila itu, Mo Brandis pernah punya affair sama artis Indonesia. Dan artis itu adalah kakakku. Cukup hina sih melacurkan nama baik di hadapan body-guard. Tapi demi Incognito, aku ikhlas. Toh pada akhirnya terbayar juga. Kami berada tujuh meter dari Incognito. Menghirup udara yang sama. Di bawah atap yang sama. Aaaah... Ini prestasi!
Masalah muncul ketika Seb lelah berdiri menari-nari. Irama acid jazz Incognito pun melambat. Enzim gila Seb mengirim ide bergabung dengan beberapa pria eksklusif di lounge paling depan. Kata Seb, mereka dikenal loyal, suka traktir rekan semeja. Jadilah kemudian Seb nyamperin seorang pria berkemeja biru. Di antara mereka, ia tampak paling supel.
Seb hanya butuh kurang dari delapan puluh detik sebelum akhirnya aku pun turut bergabung. Entah apa yang Seb katakan pada pria-pria itu. Semoga bukan lagi kibulan bab ‘kakak’ ku.
“This is Tika, my partner in crime,”
Seorang pria berkemeja biru mengulurkan tangannya, “Dani.” Dengan ekspresi teramah, ku jabat tangannya. Pun dengan yang lain, Great! Ini langkah awal yang cerdas. Menurut ensiklopedi witty attitude Sebastian Shead, kalau kita lupa nama seseorang, kenalkan dia ke orang lain. Orang itu otomatis menyebutkan namanya. Trik ini berlaku juga untuk aksi SKSD seperti ini.
“Dani, is this seat taken?” tanyaku merujuk satu ottoman di sampingnya.
“Yes, sorry. Dia lagi ke belakang.”
Dani memanggil seorang waitress, “Mas, minta satu ottoman di sini ya. Thank you.”
Mataku mengekor ke mana waitress itu pergi. Tapi, ups! Perhatianku teralihkan langkah tegas laki-laki yang berpapasan dengan waitress tadi. Ia berjalan ke arahku. Di remang-remang Jazzy Lounge, jeans dibelit gesper mekanik Roland Iten tentu tak bisa diabaikan. Dewa dandy itu semakin dekat, dekat, dan dekat. Aku panas dingin. Jantungku berdegup menandingi irama perkusi. Ya Tuhan! The man was almost perfect, even with an unbranded casual grayish blazer. Gamblang kini penampakan rambutnya panjang sebahu. Gondrong. Wait! Dandy gondrong? Dengan dua kancing terbuka? Nggak mungkin Richard Branson kan? Atau versi mudanya? Riza?! Apa yang harus ku perbuat? Kalau aku ini kecoa, pasti sudah terkapar pura-pura mati sebelum ditemukan Riza. Mati terhormat, diiringi acid jazz.