Hampir seluruh trotoar ruas jalan utama di Siantar sudah diokupasi oleh para pedagang, pedagang apa saja. Mulai dari pedagang makanan, minuman, pedagang paket internet, pedagang sepatu, pedagang ambal, dan lain sebagainya.
Mereka leluasa menggelar dagangan tanpa khawatir digusur petugas. Para pedagang ini ada yang beroperasi sejak matahari terbit hingga matahari tenggelam. Ada juga pedagang yang berpayungkan langit gelap, dan terpaksa memakai alat penerang.
Mereka ada di sepanjang ruas Jalan Ade Irma Suryani, Jalan Haji Adam Malik, Jalan Sudirman, Jalan WR Supratman, Jalan Merdeka, Jalan Sutomo, Jalan Diponegoro, Jalan Parapat, dan lain-lain, termasuk trotoar di seputaran Pasar Horas dan Pasar Dwikora.
Ini memang ciri khas Siantar. Trotoar yang mulanya sebagai sarana pedestrian, atau wahana track bagi para pejalan kaki, juga berfungsi sebagai lapak jualan.
Siantar so pasti berbeda dengan kota atau daerah lain. Meski terbilang janggal, sebab pedestrian di mana-mana ya untuk pejalan kaki, bukan buat gelar jualan.
Mestinya, Walikota Siantar Hefriansyah bersama DPRD duduk bersama membuat sebuah peraturan daerah (perda), bahwa trotoar bisa dibuat jadi lapak jualan. Sekali lagi, dalam perda, ada legalisasi trotoar sebagai pedestrian dan lapak jualan. Bodoh dan lugu ya. Itu lah Siantar.
Lho, kok? Baiknya begitu. Dilegalisasi saja, agar dari sana bisa dikutip retribusi resmi dari para pedagang. Duit hasil kutipan itu masuk kas daerah sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Tak seperti selama ini, tetap ada kutipan tetapi setornya entah ke kantong atau dompet siapa.
Lalu muncul lah kalkulator ala kedai tuak. Di mana akurasi hitungannya pasti rada-rada meleset meletus. Cemana pulak, berhitung sudah di bawah pengaruh bius nan cantik plus oyong.
Kalau lah ada 1.000 pedagang yang mengokupasi trotoar di seluruh ruas jalan yang ada di Siantar, lalu dari masing-masing pedagang dikutip Rp 5 ribu. Dikalikan sehari ada total Rp 5 juta uang kutipan. Dikali setahun ada Rp 1,8 miliar.
Besaran uang Rp 1, 8 miliar hasil kutipan itu tak masuk ke kas daerah, tapi barangkali masuk ke dompet para petugas entah petugas suruhan siapa. Sama-sama tahu lah.
Lumayan kan, uang sebesar itu bisa beli susu kambing asli untuk diberikan kepada anak-anak miskin yang dipastikan masih banyak di Siantar. Kalau mereka rutin meminum itu, niscaya badan mereka sehat dan otak mereka encer.
Sesuai data BPS, jumlah orang miskin di Siantar tahun 2013 sebesar 11 persen atau 26.000 jiwa. Tarok lah dulu dari keluarga miskin itu masing-masing ada satu anak mereka sekolah SD atau SMP.
Biar anak-anak itu sehat dan cerdas diberikan susu kambing asli sekali dalam seminggu. Satu botol susu kambing asli Rp 25 ribu, misalnya. Sebulan cuma Rp 100 ribu, setahun cuma Rp 1,2 juta. Tentu pemberiannya bisa diakurasi dan diverifikasi yang benar-benar membutuhkan.
Nah, uang yang Rp 1, 8 miliar itu bisa digunakan untuk peningkatan gizi tambahan anak-anak miskin. Ketimbang uang itu ditaburkan di karaoke dan kedai tuak oleh para petugas nakal tadi.
Jadi, trotoar bisa berfungsi ganda, pedestrian dan jualan. Legalisasi lewat perda, ada efek pendapatan yang diredistribusikan ke warga kelas kere. Tapi kalau malu dilihat daerah lain, trotoar silakan dibersihkan, apalagi jika bernafsu untuk merebut adipura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H