mata-mata kecil berkedip, melirik...
menatap lalu terpejam oleh lelah...
kuping-kuping kecil menerka sayup suara, bingung...
lantang tergiang lalu tuli oleh janji...
jari-jari kecil gemulai melambai, menjabat erat...
bertepuk tangan lalu membeku oleh ketukan palu...
kaki-kaki kecil tertatih, tegap berdiri...
berlari lalu lunglai oleh gemuruh dengki...
bibir-bibir kecil menggumam, mengulum senyum...
tertawa lalu bisu oleh pemuja nafsu...
wahai diri yang bergelar penguasa...
tubuh-tubuh kami kau jadikan pemanas tungku...
saat kau menggigil kedinginan...
lagu-lagu merdu kami kau jadikan kidung...
pengiring kematian...
harapan-harapan kami kau jadikan mimpi buruk...
tak berkesudahan...
peluh-peluh smangat kami kau jadikan penyiram...
selokan menjijikkan...
wahai diri yang menyebut sbagai penguasa...
tegak kepalamu hanya sementara...
ingatkah kau...
kami bukanlah duri...
namun tlah kau singkirkan...
kau benamkan kami dlm dekapan tanah merah...
kau anggap kami mayat...
namun kami tak pernah mati...
wahai diri yang bangga menjadi penguasa...
kini kau sendiri...
terpaku diatas singgasana...
karna sesungguhnya...
sbuah negeri tlah hilang...
(tuk pemimpinku... dengarkan bisikan suara hatimu... jgn engkau tersadar saat smuanya tlah mjd arang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H