Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Syifa (Bagian I)

7 Desember 2019   19:54 Diperbarui: 7 Desember 2019   20:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Syifa udah ga disitu lagi rupanya."

Aku mencoba mengingat sepertinya beberapa bulan yang lalu aku sudah memberi tahu Ibu Syifa bahwa kak Syifa sudah pindah. Hal lazim bagi manusia sifat lupa, aku memaklumi. Yang jelas Ibu Syifa tidak bertanya siapa namaku lagi, mungkin dia sudah ingat, pikirku.

Aku masih sering mengunjungi kedai Ibu Syifa hanya karena persediaan roti di kos ku habis. Percakapan kami masih seputar nama Syifa, bukan tentang kak Syifa yang sudah pindah tapi tentang ibu kos ku, namanya Syifa. "Bu Syifa tadi cerita, air di rumah kecil. Susah mau wudhu. Iya ya nak?" tanya Ibu Syifa. "Iya bu air memang kecil minggu ini" jawabku, sebelum berbalik arah membawa pulang roti yang ku beli.

Sesampainya di kos sebelum aku masuk kamar, Ibu kos ku berdiri di depan kamar mandi sambil berkecak pinggang mulai berceloteh, "Tie, air kita cemana ini ya?" tanyanya dengan wajah yang berkeringat mungkin sehabis menggunting-rapikan daun-daun bunga di teras rumah, itu hobinya. Aku menebak karena pernah suatu waktu aku dan Ibu kos jogging pagi, dia bercerita bahwa dia menyukai bunga. "Ayahku juga suka bunga" sambungku cerita Ibu kos pagi lalu. "Wah ada banyak bunga di rumah kalian ya? Bawa untuk ibu nanti boleh ya." Aku ingat permintaan dia sampai sekarang belum kupenuhi.  

"Tie, ibu belum mandi dari pagi" keluh Ibu kos padaku.

"Tadi ibu ketemu Ibu Syifa di pajak sore, katanya anak kos dia juga kekurangan air" lanjutnya. Sontak aku bertanya "Ibu Syifa yang mana bu?"

"Itu kedai depan. Masih ada hubungan saudara sama ibu" jelasnya.

Aku tertawa kecil tanpa dia sadari mengingat begitulah aku mengenal nama ibu yang berjualan di kedai langganan tempatku beli roti, Ibu Syifa.

Akhir-akhir ini aku jarang singgah di kedai Ibu Syifa seperti biasa sepulang kuliah karena tuntutan biaya kuliah semakin besar. Aku memaksa berhenti menyediakan roti di kos ku. Terkadang ketika Ibu Syifa sedang mengangkat pakaian dari jemuran, dia menegurku. "Syifaaaa" yang aku balas dengan senyum dan kata "iya bu."

Beberapa kesempatan terakhir, ketika aku beli roti di kedai Ibu Syifa. Dia tidak pernah bertanya apa-apa lagi. Tapi ada hal yang menggangguku, dia selalu memanggilku Syifa. "Syifa jajannya berapa?"

"Bentar ya Syifa, ibu ambil kembaliannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun