Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Syifa (Bagian I)

7 Desember 2019   19:54 Diperbarui: 7 Desember 2019   20:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore tadi aku beli roti di kedai Ibu Syifa yang berjarak sekitar 40 meter dari indekos. Sudah dua tahun aku tinggal di kompleks ini, tapi aku hanya mengenal dua rumah tetangga. Pertama Ibu Angga, tempat biasa aku beli lauk dan kedua Ibu Syifa, kedai langgananku beli roti kalau persediaan roti di kos habis.

Ada yang salah dengan Ibu Syifa. Awal kami berkenalan dulu, aku bercerita tentang kakak kos ku yang pindah satu tahun lalu karena KKN (Kuliah Kerja Nyata). Namanya Syifa, aku memanggilnya kak Syifa. Ibu Syifa langsung merespon "oo ternyata Syifa udah pindah" sekaligus bertanya, "nama kamu siapa?" "Siti. Siti Rahmadani Hutasuhut. Panggil saja Tie" kira-kira begitulah aku memperkenalkan namaku pada Ibu Syifa sekitar dua tahun lalu.

Setelah perkenalan kami, satu bulan berikutnya aku datang lagi ke kedai Ibu Syifa dengan alasan yang sama yaitu beli roti. Ibu Syifa rupanya tidak mengingatku, lalu mengajakku berkenalan lagi. "Kamu kos dimana?" tanya Ibu Syifa. "Rumah nomer 25 bu" jawabku singkat. "Kos-nya Syifa ya?" tanyanya lagi tanpa memberiku kesempatan menjawab dan ia tambahkan pertanyaannya "nama kamu siapa?" "Iya bu, saya kos ditempat yang sama dengan kak Syifa. Nama saya Siti. Siti Rahmadani Hutasuhut. Panggil saja Tie." Aku memperkenalkan namaku untuk yg kedua kalinya.

Beberapa minggu kemudian, aku datang lagi ke kedai Ibu Syifa, kali ini aku membawa teman. Tidak ada pertanyaan dari Ibu Syifa, sampai ketentuan jual-beli pasal 1456 KUHPerdata pun terlaksana. Ketika aku menerima uang kembalian dari belanjaanku, Ibu Syifa bertanya "kamu yang kos tempat Syifa kan?" Ibu Syifa ternyata sudah mengenali wajahku, batinku dan menjawab "iya bu" sambil tersenyum. Kami menjalin percapakan singkat.

"Ada berapa kamar di sana? tanyanya."

"Ada lima kamar bu."

"Berisi semua?"

"Enggak bu, cuma saya sendiri di sana."

"Lah, bukannya Syifa disana?"

"Kak Syifa udah pindah bu."

"Syifa udah ga disitu lagi rupanya."

Aku mencoba mengingat sepertinya beberapa bulan yang lalu aku sudah memberi tahu Ibu Syifa bahwa kak Syifa sudah pindah. Hal lazim bagi manusia sifat lupa, aku memaklumi. Yang jelas Ibu Syifa tidak bertanya siapa namaku lagi, mungkin dia sudah ingat, pikirku.

Aku masih sering mengunjungi kedai Ibu Syifa hanya karena persediaan roti di kos ku habis. Percakapan kami masih seputar nama Syifa, bukan tentang kak Syifa yang sudah pindah tapi tentang ibu kos ku, namanya Syifa. "Bu Syifa tadi cerita, air di rumah kecil. Susah mau wudhu. Iya ya nak?" tanya Ibu Syifa. "Iya bu air memang kecil minggu ini" jawabku, sebelum berbalik arah membawa pulang roti yang ku beli.

Sesampainya di kos sebelum aku masuk kamar, Ibu kos ku berdiri di depan kamar mandi sambil berkecak pinggang mulai berceloteh, "Tie, air kita cemana ini ya?" tanyanya dengan wajah yang berkeringat mungkin sehabis menggunting-rapikan daun-daun bunga di teras rumah, itu hobinya. Aku menebak karena pernah suatu waktu aku dan Ibu kos jogging pagi, dia bercerita bahwa dia menyukai bunga. "Ayahku juga suka bunga" sambungku cerita Ibu kos pagi lalu. "Wah ada banyak bunga di rumah kalian ya? Bawa untuk ibu nanti boleh ya." Aku ingat permintaan dia sampai sekarang belum kupenuhi.  

"Tie, ibu belum mandi dari pagi" keluh Ibu kos padaku.

"Tadi ibu ketemu Ibu Syifa di pajak sore, katanya anak kos dia juga kekurangan air" lanjutnya. Sontak aku bertanya "Ibu Syifa yang mana bu?"

"Itu kedai depan. Masih ada hubungan saudara sama ibu" jelasnya.

Aku tertawa kecil tanpa dia sadari mengingat begitulah aku mengenal nama ibu yang berjualan di kedai langganan tempatku beli roti, Ibu Syifa.

Akhir-akhir ini aku jarang singgah di kedai Ibu Syifa seperti biasa sepulang kuliah karena tuntutan biaya kuliah semakin besar. Aku memaksa berhenti menyediakan roti di kos ku. Terkadang ketika Ibu Syifa sedang mengangkat pakaian dari jemuran, dia menegurku. "Syifaaaa" yang aku balas dengan senyum dan kata "iya bu."

Beberapa kesempatan terakhir, ketika aku beli roti di kedai Ibu Syifa. Dia tidak pernah bertanya apa-apa lagi. Tapi ada hal yang menggangguku, dia selalu memanggilku Syifa. "Syifa jajannya berapa?"

"Bentar ya Syifa, ibu ambil kembaliannya."

"Syifa, ga libur?"

Apakah ada yang salah dengan perkenalan kami dulu? Bahkan aku sudah menyebutkan namaku, nama lengkapku, nama panggilanku, dua kali. Ada rasa sungkan untuk memperbaiki kesalahan Ibu Syifa, sehingga aku tidak menolak ketika dia memanggilku Syifa. Akhirnya aku terbiasa memakai nama Syifa di depan Ibu Syifa. Aku membiarkan kesalahan Ibu Syifa sampai hari ini.

Ada apa dengan nama Syifa? Ada empat orang berbeda yang memakai nama Syifa bergelut dalam satu cerita. Ibu Syifa, penjual di kedai langganan rotiku. Ibu Syifa, anak pemilik kos yang kamarnya aku kontrak pertahun. Kak Syifa, yang sudah pindah dua tahun lalu karena KKN. Aku, yang dipanggil Syifa oleh Ibu Syifa penjual di kedai langganan rotiku.

Sepulang beli roti dari kedai Ibu Syifa sore tadi, aku memutuskan untuk bercerita kepada Ibu kosku yang namanya juga Syifa tentang kesalahan ibu Syifa menamai aku Syifa, besok pagi ketika aku dan dia jogging pagi. Berharap dipertemuan selanjutnya ketika aku singgah di kedai Ibu Syifa untuk membeli roti sepulang kuliah, atau ketika Ibu Syifa yang sedang mengangkat pakaian menegurku di depan rumahnya, dia memanggilku dengan nama yang pernah aku sebut saat awal perkenalan dulu.

Ditulis, 30 November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun