Mohon tunggu...
Tias Bakaro
Tias Bakaro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fisip - Universitas Jember

-

Selanjutnya

Tutup

Financial

IMF Peringatkan Sepertiga Ekonomi Global Akan Mengalami Resesi di Tahun 2023

4 April 2023   03:19 Diperbarui: 4 April 2023   03:30 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

International Monetary Fund (IMF) telah memberikan warning kepada dunia internasional bahwasannya sepertiga dari perekonomian global diprediksi akan mengalami resesi di tahun 2023 ini. 

Sebelum membahas lebih lanjut terkait pernyataan IMF tersebut, mari kita simak bersama ap aitu IMF ? Pada dasarnya, International Monetary Fund (IMF) ini merupakan suatu organisasi internasional yang mana bergerak dan memiliki focus pada bidang keuangan bahkan seringkali organisasi ini memberikan bantuan atau pinjaman berupa dana kepada negara-negara anggotanya yang dinilai memerlukan bantuan. 

Peran daripada International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi yang mana berada di tengah-tengah system moneter dunia internasional seluruh dunia. 

Dalam system ini termasuk didalamnya yaitu pembayaran dan juga nilai tukar mata uang. Tidak hanya itu, International Monetary Fund (IMF) juga menjadi sumber dana bagi masalah-masalah dalam neraca negara.

Kembali kepada topik pembahasan, terkait warning dari International Monetary Fund (IMF) bahwa sepertiga ekonomi global akan mengalami resesi pada tahun ini. 

Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF), yaitu Kristalina Georgieva telah menyatakan bahwasannya pada tahun 2023 akan menjadi tahun yang berat bagi perekonomian global apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut dikatakan langsung oleh Direktur Pelaksana IMF karena perekonomian Amerika Serikat, Uni Eropa, dan juga China yang mengalami perlambatan. 

Perang yang tak berkesudahan yang terjadi di Ukraina, kenaikan harga-harga, suku bunga yang semakin tinggi, dan juga penyebaran virus Covid yang berasal dari China semakin memberikan beban yang cukup berat bagi perekonomial secara global. 

Pada bulan Oktober, International Monetary Fund (IMF) memangkas prospek dari pertumbuhan ekonomi global di tahun 2023. "Kami memperkirakan sepertiga perekonomian dunia akan mengalami resesi," ucap Kristalina Georgieva dalam tayangan program berita CBS Face the Nation. "Bahkan pada negara-negara yang nantinya tidak akan mengalami resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang," sambung Kristalina Georgieva.

Sementara itu, Presiden Republik Indonesia yaitu Bapak Joko Widodo dalam kunjungannya ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat pada hari Senin (2/1) memberikan pernyataan "saya berharap Indonesia sendiri tidak akan terkena imbas dari resesi global". 

Ekonom dari Moody's Analytic yang memiliki basis di Sydney, yaitu Katrina Ell menyampaikan prediksinya kepada BBC. "Meskipun target yang paling utama kita adalah untuk menghindari resesi global di tahun 2023, namun kemungkinannya akan cukup sulit. Eropa, bagaimanapun tidak akan terbebas dari resesi dan Amerika Serikat akan tertatih-tatih di ambang, " ucap Katrina Ell.

International Monetary Fund (IMF) juga telah memangkas prospek dari pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini akibat dari adanya perang yang terjadi di Ukraina dan adanya kenaikan suku bunga karena bank sentral di seluruh dunia terus berusaha untuk mengendalikan kenaikan harga. 

Semenjak hal itulah, China kemudian membatalkan kebijakan nol Covid dan kembali membuka perekonomiannya meskipun inveksi dari virus corona masih tetap menyebar secara cepat di negara tersebut. 

Georgieva Kembali mengeluarkan warning bahwasannya China sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tentu akan menghadapi awal tahun yang sulit. 

"Dalam beberapa bulan kedepan China akan mengalami kesulitan, dan dampaknya terhadap pertumbuhan perekonomian tentu tidak baik, begitu juga dengan dampak yang timbul terhadap Kawasan dan pertumbuhan secara global," kata dia. 

Dalam hal ini, International Monetary Fund tentu saja memiliki peran sebagai system peringatan dini dalam hal ekonomi sebagai organisasi internasional yang beranggotakan 190 negara, dimana juga berkomitmen untuk menstabilkan perekonomian global.

Statement daripada Kristalina Georgieva ini tentu dapat memicu kekhawatiran masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali negara-negara Asia yang juga mengalami masa sulit di tahun 2022. Inflasi juga semakin meningkat setiap harinya bahkan di seluruh Kawasan, sebagai besar inflasi ini dipicu oleh perang di Ukraina, sementara suku buka yang semakin tinggi juga memukul sector bisnis dan juga rumah tangga. 

Angka yang dikeluarkan pada bulan Februari kemarin menunjukkan bahwa ekonomi China semakin melemah sejak akhir tahun 2022. Indeks pembelian resmi (PMI) pada bulan Desember juga memperlihatkan bahwasannya aktivitas industrialisasi ataupun pabrik-pabrik di China menyusut selama kurang lebih tiga bulan berturut-turut, dan hal tersebut juga merupakan penyusutan tercepat yang dialami oleh China dalam hamper tiga tahun terakhir karena adanya virus corona yang menyebar luas di negara tersebut. 

Pada hari Sabtu (31/12), dalam pernyataan public perdananya setelah mencabut kebijakan nol Covid, Presiden China yaitu Xi Jinpig terus menyerukan upaya dan memperkuat persatuan saat China mulai memasuki "fase baru".

Sedangkan penurunan ekonomi yang terjadi di AS berarti permintaan terhadap produk-produk buatan di China dan juga produk yang diproduksi di negara-negara Asia lainnya seperti Thailand dan Vietnam juga terus mengalami penurunan. 

Suku bunga yang lebih tinggi juga mengakibatkan pinjaman menjadi lebih mahal, yang kemudian mengakibatkan banyak perusahaan lebih memilih untuk tidak berinvestasi dalam mengembangkan bisnis mereka. 

Pertumbuhan perekonomian yang semakin melemah dapat memicu investor menarik diri sehingga mengakibatkan negara-negara, terutama negara miskin dan bekembang semakin kesulitan untuk mengimpor bahan makanan dan energi karena kekurangan dana. 

Dampak yang muncul dari suku bunga yang tinggi terhadap pinjaman dapat mempengaruhi ekonomi pada level pemerintahan, terutama di negara-negara berkembang yang mungkin akan mengalami kesulitan dalam membayar utang-utang mereka.

Selama beberapa dekade ini Kawasan Asia-Pasifik sangatlah bergantung kepada China sebagai mitra dagang utama sekaligus sebagai pendukung perekonomian saat terjadi krisis. Namun saat ini, perekonomian di Kawasan Asia masih menghadapi dampak yang berkepanjangan sebagai bagian akibat adanya pandemi covid-19 di China bahkan di seluruh dunia. 

Pabrik Tesla bahkan Apple mungkin akan mampu kembali ke jalurnya setelah Beijing mengakhiri kebijakan nol-Covid. Akan tetapi, permintaan baru terhadap komoditas seperti minyak dan juga biji besi kemungkinan juga akan terus mengalami peningkatan harga-harga yang lebih lanjut di saat inflasi mulai mencapai puncaknya. 

"Pembatasan Covid secara domestic yang dilonggarkan oleh China bukanlah menjadi solusi instan. Transisinya tidak akan berjalan dengan begitu mulus dan tentunya akan menjadi sumber ketidakpastian hingga kuartal Maret, " kata Ell.

Indonesia sendiri masih optimis dalam menghadapi "masa berat" ini bahkan Presiden Joko Widodo juga mengharapkan Indonesia tidak akan terkena dampak dari resesi global. 

"Kalau kita mampu melewati turbulensi di tahun 2022 kemarin, kita harapkan nanti, ditahun 2023 ini, tahun ujian, dimana jika kita bisa melewatinya insyaallah di tahun 2024 akan lebih mudah lagi bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia," kata Jokowi kepada wartawan saat melakukan kunjungan ke Pasar Tanah Abang, Senin (2/1). 

Saat membuka Perdagangan Bursa Efek Indonesia tahun 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan bahwa tahun ini akan menjadi "ujian yang sangat berat" bagi bangsa Indonesia. 

"Seluruh pemangku kepentingan termasuk dalam KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) akan terus berupaya dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional khusunya dalam sector keuangan," kata Sri Mulyani. 

Sri Mulyani optimis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2022 akan berada di rentang angka 5% sampai 5,3%. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi pada kuarta keempat lalu diprediksi akan "sedikit melambat" apabila dibandingkan dengan kuartal ketiga yang mana mencapai angka 5,72%.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun