Mohon tunggu...
Reinard Sandya Wisanggeni
Reinard Sandya Wisanggeni Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seminaris Seminari Menengah Mertoyudan

Oke

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perlukah Belajar Materi Esok Hari?

9 Maret 2024   11:29 Diperbarui: 9 Maret 2024   11:58 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/

Generasi milenial dan Y, pada masa kecilnya cenderung untuk memiliki habitus (kebiasaan) untuk belajar materi sekolah yang akan dipelajari esok hari di bangku sekolah. Namun kini, habitus tersebut mulai luntur dalam budaya studi generasi Z, yang tentu dapat dengan jelas kita lihat. Banyak pendapat tentang bagaimana seharusnya habitus ini tetap dilestarikan. Akan tetapi perlu kita kritisi bersama seiring berubahnya konteks zaman, perlukah habitus ini tetap dilakukan secara paten dan kaku?

Mengapa

Kini zaman sudah banyak berubah, namun tentu dalam menghadapi perubahan arus zaman yang sangat cepat ini, semua manusia perlu untuk belajar, ini mutlak. Bagaimana manusia pada setiap zamannya belajar, itu lain perkara karena setiap zaman merupakan medan perjuangan tersendiri bagi setiap manusianya, yang tak bisa disamakan.

Merujuk dari waktu setiap zamannya, generasi Baby Boomers (1946-1964), X (1965-1980), Y (1981-1995), dan Z (1996-2010), ada tuntutan tersendiri dalam era-era itu untuk terampil dalam menguasai setiap mata pelajarannya. Tentu sumber belajar pada kala itu sangat terbatas, mengingat internet belum se-praktis sekarang. Belum lagi, membeli buku termasuk suatu kemewahan bagi kaum proletar pada era itu.

Menurut Russel (2011: 40), ada tiga kategori modal seseorang dalam belajar yang distinktif dalam setiap pribadinya. Tiga kategori tersebut yakni audio, yang lebih cepat mempelajari pengetahuan baru lewat aspek pendengaran, lalu visual, yang memiliki tendensi belajar lewat aspek penglihatan, dan kinestetik, yang memiliki kecenderungan untuk menangkap informasi lebih cepat lewat aspek motorik.

Dalam mempelajari materi esok hari di rumah, kerap di zaman dahulu hanya dibatasi oleh buku paket dan latihan. Memang banyak cara untuk mengakali keterbatasan itu, yang audio bisa mengucapkan dengan lantang apa yang baru mereka baca berulang-ulang, dan kinestetik menulis atau merangkum ulang materi. Akan tetapi, tentu media digital di generasi Z menawarkan banyak metode yang jauh lebih menarik, namun juga berpotensi untuk mengaburkan konsentrasi.

Tentu ada kekurangan dan kelebihan dari setiap cara belajar yang dialami oleh masing-masing era. Hal ini yang harus kita dalami lebih lanjut untuk mendapat perspektif yang luas terkait isu ini, isu yang mungkin bisa meningkatkan kualitas SDM Indonesia.

Alasan Di Baliknya

Dengan mempelajari materi esok hari, pelajar sedikit-banyak dituntut untuk memahami pengetahuan-pengetahuan baru yang telah dipelajari. Di era terdahulu, metode ini terbukti efektif karena hampir setiap ujian ataupun latihan soal mengutip materi dari apa yang tercantum di buku alias letter-lock.

Akan tetapi, dengan berlakunya Kurikulum Merdeka sekarang, pembelajaran  eksploratif dan integratif lebih ditekankan, seakan mengabaikan buku paket yang dulu bagai Kitab Suci. Meski memang sekarang buku paket tetap dijadikan acuan, juga guru pasti memberikan referensi pelajaran untuk lebih lanjut dipelajari di rumah, Namun segala informasi secara instan bisa diakses lewat internet, yang membuat pelajar lebih memilih pendekatan yang praktis, walau kurang komprehensif tentu.

Dengan adanya berbagai fasilitas yang jelas membuat proses studi lebih efisien, jelas menjadi salah satu alasan konkret tentang tumbuhnya kecenderungan menyukai proses instan. Guru pun dapat menyesuaikan materi dengan apa yang siswa minati, tidak lagi secara rigid terpaku pada yang tertulis. Di sini dapat disimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka membantu pergeseran pola edukasi lebih cepat, yang mana sudah natural terjadi mengingat derasnya arus globalisasi dan teknologi. Kemudahan ini melunturkan niat mayoritas pelajar untuk menyerap segala informasi yang tertulis, namun juga menumbuhkan intensi untuk mempelajari secara intensif apa yang menjadi minat mereka.

Selain itu, perusahaan-perusahaan besar dan ternama seperti Google sudah menerapkan metode untuk menjadikan ijazah sebagai pertimbangan besar untuk menerima tenaga kerja. Seperti kita ketahui, kiblat yang umum dimiliki Gen Z adalah hal-hal berbau teknologi dan modern, Google menjadi salah satu ikon besarnya. Setelah diterapkannya metode itu, nampaknya terjadi penurunan nilai sebuah ijazah dalam kualifikasi seorang tenaga kerja baru. Seiring dengan ini, terjadi penurunan urgensi untuk mendapat nilai akademik yang cemerlang dalam sekolah.

Dari perspektif-perspektif di atas, dapat disimpulkan bahwa selain pergeseran pola edukasi, terjadi pula pergeseran perspektif sosial generasi Z. Pergeseran ini menimbulkan banyak pro-kontra tentunya, dan semakin banyak alasan untuk tidak mempelajari materi sekolah esok hari, begitu pula sebaliknya.

Konsep pembelajaran mandiri sangat ditekankan pada minat dan bakat dari setiap pelajar, yang membuat tekanan untuk mempelajari semua subjek pelajaran berkurang. Dunia pendidikan Indonesia perlahan bergerak maju ke arah cura personalis atau pemeliiharaan pribadi dari setiap individu yang unik, di mana peminatan subjek menjadi penting. Selain minat dari sendiri, faktor eksternal juga sangat mempengaruhi alasan hilangnya habitus mempelajari materi esok hari. Melandanya krisis literasi semakin menyulitkan generasi Z untuk duduk diam dan mempelajari materi untuk esok hari, secara kemampuan literasi menjadi krusial dalam dinamika habitus ini.

Dua Sisi Koin

Secara fundamental mempelajari materi persekolahan sehari sebelumnya jelas meningkatkan literasi dan wawasan. Tak heran jika kita menjumpai orang-orang yang lahir di Generazi Y dan Milenial berwawasan umum luas, atau kerap disebut RPUL. Krisis literasi tengah terjadi. Dampaknya, Indonesia hanya memiliki poin 57,4 dalam tingkat literasinya dari 100 poin menurut Kemendikbudristek pada tahun 2022. Krisis ini dapat berujung fatal pada misinterpretasi informasi yang kerap terjadi pada media digital, yang disebarkan secara berantai, sering kita sebut hoax.

Generasi stroberi yang dibicarakan oleh Prof. Rhenald Kazali (2018) disebutkan memiliki daya juang rendah. Terkait dengan ini, jika kita tarik benangnya lebih panjang, akan kita temukan bahwa salah satu penyebabnya adalah kecenderungan proses instan. Kecenderungan ini, seperti telah dianalisis di atas, juga menjadi potensi dampak dari tidak mempelajari materi esok hari.

Selain itu, mempelajari materi sehari sebelumnya membentuk habitus disiplin dan konsistensi dalam studi. Dalam hal ini, keunggulan generasi terdahulu nampak dalam resiliensi belajarnya, ketika generasi Z sudah mulai mengendurkan kegigihannya. Tentulah masih banyak manfaat yang bisa kita analisis lebih lanjut, namun beberapa dampak di atas menjadi dampak yang sekiranya krusial bagi studi anak bangsa.

Di lain sisi, mempelajari materi sekolah sehari sebelumnya membuat pelajar lebih terkekang dengan kurikulum. Mengingat pembelajaran integratif yang padat dan 'ramping' belum sepenuhnya terlaksana, ruang untuk mempelajari materi lain yang lebih menjadi minat berkurang. Dengan konteks zaman saat ini, tentu pelajar harus memiliki banyak ruang untuk mengeksplor dan mendalami apa yang menjadi minatnya.

Secara eksak pun sebetulnya belum dapat kita ketahui, apa materi sekolah yang dipelajari sehari sebelumnya akan betul didalami secara intensif di sekolah esoknya. Kurikulum Merdeka-lah yang menyebabkan alasan ini bisa terjad, meski tentu tetap tak ada salahnya mempelajari materi.

Pembelajaran eksploratif yang diterapkan kurikulum merdeka lebih bersifat diskretif, yang artinya guru dan siswa bisa memilih ke mana arah pelajaran harus berjalan. Kurang relevan-lah bila mempelajari materi eksak dari buku sehari sebelumnya dalam dinamika KBM sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran eksploratif yang didorong tugas-tugas mandiri dan memiliki tendensi untuk mendalami materi di mana minat pelajar terletak.

So What?

Ada dualisme yang jelas dari sisi positif dan negatif terkait habitus ini, yang diterapkan di zaman sekarang. Perbedaan sekaligus celah terbesar dari metode konvensional ini tentunya adalah perubahan zaman, bagaimana tuntutan juga berubah, serta cara-cara untuk memenuhi tuntutan itu. Setiap zaman memiliki medan perjuangannya sendiri-sendiri, dan tentu perlu modifikasi metode di sini, atau yang kerap kita sebut ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

Secara zaman lebih menekankan minat sebagai urgensi materi pembelajaran, maka dengan fasilitas yang ada pelajar diharapkan juga dapat mengeksplorasi minatnya di luar sekolah. Eksplorasi minat di sini berarti belajar, dan secara langsung hal ini berarti bahwa di zaman ini pun habitus mempelajari materi esok hari tetap bisa dilakukan. Pasti terkesan tak seperti dahulu, namun dengan konteks zaman yang ada, metode ini menjadi alternatif yang baik diterapkan.

Belajar tak harus sehari sebelumnya, namun alangkah baiknya jika pelajar mau mempelajari materi esok hari. Terlebih bila yang dipelajari betul sesuai dengan materi pembelajaran yang serba fleksibel dalam kurikulum merdeka ini. Akan tetapi selain belajar sehari sebelumnya, zaman sudah menyediakan berjuta alternatif untuk metode studi yang - secara subjektif - lebih efektif.

Tempora mutantur et nos mutamur in illis, sebuah peribahasa latin yang berarti, "waktu berubah dan kita pun turut diubah di dalamnya." Tak hanya para generasi pendahulu yang kerap dicap menuntut, generasi Z pun juga sesekali harus dituntut, agar kita bersama berubah. Bukan oleh perspektif dan pengetahuan empiris para pendahulu semata, namun juga oleh zaman dan alam sendiri.

Tak sekedar 'kerja sama,' butuh 'sinergi' di sini, kerja sama yang memaksimalkan potensi satu sama lain dan menumbuhkan, bukan memanjakan. Peran sebagai formator yang senantiasa membimbing dan mengarahkan sangat krusial di sini, begitu pula dengan peran sebagai formandi yang siap diformat untuk jadi lebih baik. Bukan semata perkara metode mana yang lebih baik, namun sejauh mana metode itu dapat diterapkan kini. Sinergi yang membuat kita bersama melangkah, berani berubah dan berbuah baik bagi sesama serta dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun