Selain itu, perusahaan-perusahaan besar dan ternama seperti Google sudah menerapkan metode untuk menjadikan ijazah sebagai pertimbangan besar untuk menerima tenaga kerja. Seperti kita ketahui, kiblat yang umum dimiliki Gen Z adalah hal-hal berbau teknologi dan modern, Google menjadi salah satu ikon besarnya. Setelah diterapkannya metode itu, nampaknya terjadi penurunan nilai sebuah ijazah dalam kualifikasi seorang tenaga kerja baru. Seiring dengan ini, terjadi penurunan urgensi untuk mendapat nilai akademik yang cemerlang dalam sekolah.
Dari perspektif-perspektif di atas, dapat disimpulkan bahwa selain pergeseran pola edukasi, terjadi pula pergeseran perspektif sosial generasi Z. Pergeseran ini menimbulkan banyak pro-kontra tentunya, dan semakin banyak alasan untuk tidak mempelajari materi sekolah esok hari, begitu pula sebaliknya.
Konsep pembelajaran mandiri sangat ditekankan pada minat dan bakat dari setiap pelajar, yang membuat tekanan untuk mempelajari semua subjek pelajaran berkurang. Dunia pendidikan Indonesia perlahan bergerak maju ke arah cura personalis atau pemeliiharaan pribadi dari setiap individu yang unik, di mana peminatan subjek menjadi penting. Selain minat dari sendiri, faktor eksternal juga sangat mempengaruhi alasan hilangnya habitus mempelajari materi esok hari. Melandanya krisis literasi semakin menyulitkan generasi Z untuk duduk diam dan mempelajari materi untuk esok hari, secara kemampuan literasi menjadi krusial dalam dinamika habitus ini.
Dua Sisi Koin
Secara fundamental mempelajari materi persekolahan sehari sebelumnya jelas meningkatkan literasi dan wawasan. Tak heran jika kita menjumpai orang-orang yang lahir di Generazi Y dan Milenial berwawasan umum luas, atau kerap disebut RPUL. Krisis literasi tengah terjadi. Dampaknya, Indonesia hanya memiliki poin 57,4 dalam tingkat literasinya dari 100 poin menurut Kemendikbudristek pada tahun 2022. Krisis ini dapat berujung fatal pada misinterpretasi informasi yang kerap terjadi pada media digital, yang disebarkan secara berantai, sering kita sebut hoax.
Generasi stroberi yang dibicarakan oleh Prof. Rhenald Kazali (2018) disebutkan memiliki daya juang rendah. Terkait dengan ini, jika kita tarik benangnya lebih panjang, akan kita temukan bahwa salah satu penyebabnya adalah kecenderungan proses instan. Kecenderungan ini, seperti telah dianalisis di atas, juga menjadi potensi dampak dari tidak mempelajari materi esok hari.
Selain itu, mempelajari materi sehari sebelumnya membentuk habitus disiplin dan konsistensi dalam studi. Dalam hal ini, keunggulan generasi terdahulu nampak dalam resiliensi belajarnya, ketika generasi Z sudah mulai mengendurkan kegigihannya. Tentulah masih banyak manfaat yang bisa kita analisis lebih lanjut, namun beberapa dampak di atas menjadi dampak yang sekiranya krusial bagi studi anak bangsa.
Di lain sisi, mempelajari materi sekolah sehari sebelumnya membuat pelajar lebih terkekang dengan kurikulum. Mengingat pembelajaran integratif yang padat dan 'ramping' belum sepenuhnya terlaksana, ruang untuk mempelajari materi lain yang lebih menjadi minat berkurang. Dengan konteks zaman saat ini, tentu pelajar harus memiliki banyak ruang untuk mengeksplor dan mendalami apa yang menjadi minatnya.
Secara eksak pun sebetulnya belum dapat kita ketahui, apa materi sekolah yang dipelajari sehari sebelumnya akan betul didalami secara intensif di sekolah esoknya. Kurikulum Merdeka-lah yang menyebabkan alasan ini bisa terjad, meski tentu tetap tak ada salahnya mempelajari materi.
Pembelajaran eksploratif yang diterapkan kurikulum merdeka lebih bersifat diskretif, yang artinya guru dan siswa bisa memilih ke mana arah pelajaran harus berjalan. Kurang relevan-lah bila mempelajari materi eksak dari buku sehari sebelumnya dalam dinamika KBM sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran eksploratif yang didorong tugas-tugas mandiri dan memiliki tendensi untuk mendalami materi di mana minat pelajar terletak.
So What?