Mohon tunggu...
JPIC Kapusin Medan
JPIC Kapusin Medan Mohon Tunggu... Lainnya - Capuchin Brother

Fransiskan Kapusin

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Ketika Camer Menginginkan "Boru ni Raja"

23 Maret 2021   16:11 Diperbarui: 24 Maret 2021   14:49 2735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencintai dan dicintai, sejatinya menjadi hak (+kewajiban) bagi setiap orang. Apalagi, bagi mereka sepasang kekasih yang sudah serius dan ingin membentuk satu keluarga baru, cinta yang bebas dan tulus menjadi salah satu syarat utama. 

Namun, bagaimana jika cinta itu harus dihadapkan pada sebuah tantangan yang sulit? Kita ambil saja satu contoh, yakni ketika calon mertua (camer) mengharapkan bahwa menantunya harus berasal dari suku yang sama dengan keluarga itu?

Ada tiga kemungkinan yang terjadi. Pertama, relasi di antara keduanya akan pupus dan kandas, terlebih bila otoritas camer lebih powerful dibandingkan dengan komitmen anak dan calon mantunya. 

Kedua, pasangan akan tetap melangsungkan perkawinan meski harus kawin lari. Pokoknya, pernikahan harus tetap berlangsung: "Aku untukmu dan kau untukku". Rekonsiliasi dengan orangtua dan mertua bisa diatasi kemudian.

Lalu, kemungkinan yang ketiga adalah tetap melangsung pernikahan dan tinggal dekat dengan orangtua atau mertua meski harus hidup dalam ketidaknyamanan, karena restu belum diberikan. Alhasil untuk kurun waktu tertentu, mereka akan berada dalam konflik keluarga. 

Bisa jadi, baik si anak maupun menantu tidak akan diperhitungkan oleh orangtua atau mertuanya. Anak terimbas oleh rasa tidak suka orangtua, walau sebenarnya itu ditujukan ke menantunya.

***

Di dalam satu lagu Batak Toba (selanjutnya Toba) termuat kisah yang cukup menegangkan antara anak dan orangtua yang berharap bahwa menantunya haruslah orang Toba. 

Lagu yang dimaksud berjudul Marboru Sileban (mengambil putri lain di luar suku Batak), dikarang oleh Freddy Simbolon dan sudah banyak dipopulerkan oleh penyanyi profesional Batak. 

Kira-kira lirik lagu dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, demikian:

Jangkon ma inong, da parumaen mon (Terimalah ibu, menantumu ini)
Nang pe boru sileban i (Walaupun dia dari suku lain)
Na gabe rokkaphi (yang menjadi pasangan hidupku)
Jangkon ma hami gelleng mon (Terimalah ibu, kami anakmu ini)
Si laosi poda i (yang tidak mengindahkan nasihatmu)
Asa sai horas, sai gabe hita on (2x) (supaya kita sejahtera, supaya kami punya keturunan)

Tung pe inongku, tung so tarbahen au (Walaupun tak bisa kupenuhi)
Na tinodo ni rohami (Seperti yang engkau kehendaki)
Na gabe parumaen mi (Yang menjadi menantumu)
Ai parumaenmon do dainang (Menantumu inilah ibu)
Na pature-ture hon au (Yang merawat aku)
Di tano parjalangan i (Di tempat perantauan)
Di parjalangan di luat si leban i (di tempat orang di luar sana)

Reff: Nang pe torop akka si solhot i (Walaupun banyak di sana keluarga kita)
Soada i na manarihon au (Tak seorang pun yang memperhatikan aku)
Boru si leban on do inongku (Menantumu inilah ya ibu)
Na sai tong-tong mandulo au inang (Yang selalu mengunjungiku)
Di parsahiton, nang di sitaonon i (Ketika aku sakit dan ketika aku menderita)
Di parsorion, nang di sidangolon i (Dalam penderitaan, dan begitu juga dalam kesedihan)

***

Di dalam lagu, dapat diduga bahwa si laki-laki dan pacarnya sudah sah menjadi pasangan suami-istri, meski orangtuanya belum siap dan menerima pernikahan itu. Orangtua, terlebih ibu, sebenarnya mengharapkan agar anaknya menikah dengan perempuan Batak, bukan dari suku lain. Mengapa?

Di dalam budaya Batak, setiap laki-laki dan perempuan itu dipandang sebagai anak ni raja dan boru ni raja. Titel raja menjadikan baik laki-laki dan perempuan Batak punya status istimewa dalam kelompok sosial. 

Itu adalah titel kehormatan yang meliputi kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dan adat-istiadat di kalangan orang Batak. Selain itu, anak ni raja juga menjadi sebuah predikat terhadap anak yang punya kharisma raja.

Titel raja itu berkaitan dengan raja Batak, bukan raja lain. Maka, orang di luar suku Batak, bukanlah bagian dari turunan raja. Kecuali, kalau ia mau mengambil marga tertentu dan mengikuti ritus untuk memberi marga, ia akan menjadi bagian dari keluarga raja Batak.

Titel itu juga punya hubungan dengan sistem kekerabatan Batak yaitu dalihan na tolu (harfiah, walau kurang tepat: tungku dengan tiga kaki). 

Di dalam dalihan na tolu ada somba marhula-hula (sikap hormat yang paling tinggi kepada kelompok marga istri, mulai dari istri kita, ibu, istri ompung, dan beberapa generasi; juga istri anak, istri cucu, istri saudara dari kelompok dongan tubu/saudara); elek marboru (sayang pada pihak (anak) perempuan); dan manat mardogan tubu (cermat berelasi dengan teman semarga). 

Setiap laki-laki atau perempuan Batak, sudah pasti bisa bertindak sebagai hula-hula, boru, dan/atau dongan tubu tergantung pada acara adat yang diselenggarakan.

Kata kunci agar bisa punya ketiga dimensi di atas adalah punya marga. Seseorang harus punya marga agar bisa dipandang sebagai apa dalam kelompok masyarakat atau acara adat. 

Marga juga menjadi jaminan bahwa ia sungguh anak atau boru ni raja. Dengan adanya marga, seseorang masuk dalam keluarga Batak (Toba). 

Bagi mereka yang hendak menikah, ini tentu menjadi satu pertanyaan mendasar, "Ai halak hita do itoan i? (Apakah calonmu itu orang Batak?)" atau "Ai boru Batak do hallet mi? (Apakah pacarmu itu, orang Batak?)" 

Di balik pertanyaan itu, sebenarnya tersirat eksklusivisme harus orang Batak, jangan yang lain. Sungguh ini menjadi satu tantangan, sebab mereka yang tidak punya marga kurang mendapat pengakuan secara adat, walau (mungkin) di keluarga diterima. Mereka juga tidak mendapat posisi hak dan kewajiban. 

***

Sampai saat ini, paham seperti ini masih ada di beberapa tempat. Masih ada kelompok orang yang cukup konservatif terhadap tata aturan adat istiadat nenek moyang. 

Maka, tak heran relasi antara satu lelaki Batak dengan perempuan non-Batak akan sulit. Akan tetapi, sekali lagi jika cinta antara kedua pasangan kuat dan kokoh, tentu semua bisa dijalani. 

Seperti lagu di atas, ada satu inspirasi dan motivasi yang dapat dipetik dimana anak ni raja/suami begitu membela istrinya. Perhatian dan dukungan dari boru sileban itu jauh lebih dirasakan daripada keluarga sendiri. 

Anak ni raja itu sebenarnya sudah mengusahakan mencari pasangan boru Batak. Tapi tidak dapat. Kebetulan bertemu dengan boru sileban dan anak ni raja merasa cocok, akhirnya mereka jadi.

Jatuhnya pilihan terakhir pada boru sileban bukanlah sebuah pilihan terakhir. Tapi, itu adalah pilihan yang tepat karena adanya luapan cinta yang tulus tanpa kenal sekat atau batas. 

Demikianlah bagi para pembaca yang saat ini tengah dihadapkan dengan situasi seperti ini (Ketika Camer Menginginkan Boru ni Raja) tetaplah berjuang dan memperjuangkan cinta itu, tentu secara bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun