Di dalam lagu, dapat diduga bahwa si laki-laki dan pacarnya sudah sah menjadi pasangan suami-istri, meski orangtuanya belum siap dan menerima pernikahan itu. Orangtua, terlebih ibu, sebenarnya mengharapkan agar anaknya menikah dengan perempuan Batak, bukan dari suku lain. Mengapa?
Di dalam budaya Batak, setiap laki-laki dan perempuan itu dipandang sebagai anak ni raja dan boru ni raja. Titel raja menjadikan baik laki-laki dan perempuan Batak punya status istimewa dalam kelompok sosial.Â
Itu adalah titel kehormatan yang meliputi kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dan adat-istiadat di kalangan orang Batak. Selain itu, anak ni raja juga menjadi sebuah predikat terhadap anak yang punya kharisma raja.
Titel raja itu berkaitan dengan raja Batak, bukan raja lain. Maka, orang di luar suku Batak, bukanlah bagian dari turunan raja. Kecuali, kalau ia mau mengambil marga tertentu dan mengikuti ritus untuk memberi marga, ia akan menjadi bagian dari keluarga raja Batak.
Titel itu juga punya hubungan dengan sistem kekerabatan Batak yaitu dalihan na tolu (harfiah, walau kurang tepat: tungku dengan tiga kaki).Â
Di dalam dalihan na tolu ada somba marhula-hula (sikap hormat yang paling tinggi kepada kelompok marga istri, mulai dari istri kita, ibu, istri ompung, dan beberapa generasi; juga istri anak, istri cucu, istri saudara dari kelompok dongan tubu/saudara); elek marboru (sayang pada pihak (anak) perempuan); dan manat mardogan tubu (cermat berelasi dengan teman semarga).Â
Setiap laki-laki atau perempuan Batak, sudah pasti bisa bertindak sebagai hula-hula, boru, dan/atau dongan tubu tergantung pada acara adat yang diselenggarakan.
Kata kunci agar bisa punya ketiga dimensi di atas adalah punya marga. Seseorang harus punya marga agar bisa dipandang sebagai apa dalam kelompok masyarakat atau acara adat.Â
Marga juga menjadi jaminan bahwa ia sungguh anak atau boru ni raja. Dengan adanya marga, seseorang masuk dalam keluarga Batak (Toba).Â
Bagi mereka yang hendak menikah, ini tentu menjadi satu pertanyaan mendasar, "Ai halak hita do itoan i? (Apakah calonmu itu orang Batak?)" atau "Ai boru Batak do hallet mi? (Apakah pacarmu itu, orang Batak?)"Â
Di balik pertanyaan itu, sebenarnya tersirat eksklusivisme harus orang Batak, jangan yang lain. Sungguh ini menjadi satu tantangan, sebab mereka yang tidak punya marga kurang mendapat pengakuan secara adat, walau (mungkin) di keluarga diterima. Mereka juga tidak mendapat posisi hak dan kewajiban.Â