Pajak Pertambahan Nilai (PPN)Â
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan oleh pemerintah melalui PP 12, tahun 2001. PPN khusus untuk peternakan pernah dibebaskan oleh Presiden Abdulrachman Wahid, tetapi kemudian diperlakukan kembali. Alasan pembebasan itu adalah bahwa PPN itu bisa berlaku bertingkat. Misalnya jagung dan bahan baku lainnya yang sudah kena PPN, ketika dikonsumsi ternak untuk menjadi daging maka daging tersebut terkena PPN lagi. Masalah penolakan PPN telah mencuat sejak diterbitkan bulan Maret dan terus berlangsung hingga saat ini.Â
Kasus terakhir adalah pembayaran PPN 10 persen terhadap 40 ribu ekor sapi bakalan yang ditahan oleh bea dan cukai. Para pengusaha enggan membayar pajak tersebut karena pertimbangan membantu pemerintah dalam menyediakan daging untuk masa lebaran dan kedua impor itu dilakukan sebelum PPN itu diterbitkan. Tetapi pemerintah akan tetap melaksanakan PPN sebesar 10 persen tersebut karena impor sapi bakalan hanya untuk konsumsi orang kaya, sedangkan di daerah produsen daerah harga daging 50 persen dari harga daging di Jakarta. Jadi pengenaan PPN 10 persen tersebut hanya mempengaruhi masyarakat kelas atas di Jakarta.
Penurunan Populasi di Wilayah Produksi Secara nasionalÂ
populasi sapi potong dari tahun 1994 -2002 menurun sebesar 3,1 Â persen per tahun (data tahun 2001 dan 2002 adalah data proyeksi). Penurunan populasi ini lebih merisaukan karena terjadi pada lima wilayah sentra produksi yakni NTB, NTT, Bali, Sulawesi dan Lampung masing-masing 8,3 persen, 4,7 persen, 0,1 persen, 3,4 persen dan 4,8 persen per tahun. Hadi et al. (2002) melaporkan keadaan penurunan populasi ternak pada tahun 2000 yang cukup memprihatinkan tersebut. Penurunan populasi ini akan terus berlanjut pada tahun 2003.Â
Jumlah total sapi potong di kelima wilayah ini untuk tahun 2002 diperkirakan sebesar 2,45 juta ekor atau sekitar 20 persen dari populasi nasional. Indonesia akan sulit menggantungkan diri pada ke lima provinsi tersebut untuk masa mendatang, sedangkan untuk mengharapkan dari Jawa Timur sebagai provinsi paling banyak memiliki sapi potong tidak bisa diandalkan karena ternak potong di wilayah ini lebih banyak digunakan untuk tujuan usaha taniÂ
Pajak dan Retribusi Pemerintah Daerah (Otonomisasi)Â
Tahun 2001 adalah tahun kedua penerapan otonomi daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten. Proses otonomi ini masih dianggap kacau dan menimbulkan banyak masalah antara lain ada kecenderungan pemerintah daerah untuk menjadi raja di daerah sendiri dengan memfokuskan pengumpulan PAD melalui keringat rakyat. Pengertian otonomi sudah disalahkan baik secara konsep maupun praktek. Salah satu contoh adalah penarikan retribusi yang tidak sah dengan berbagai dalih. Sebagaimana telah diatur dalam UU 18/1997 pasal 18 s/d 28 (Tunggal, 1999), objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusi, namun hanya jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak untuk dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu. Dari ketiga bentuk ini maka permohonan perijinan paling banyak disalahgunakan oleh daerah yang cenderung merugikan para pengusaha.Â
Tinjauan Khusus: Agribisnis
 Sapi Perah Pengalaman 30 tahun telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pola pengembangan sapi perah melalui koperasi hanya berpengaruh pada peningkatan produksi dan peningkatan kesempatan kerja dipedesaan (Yusdja dan Rusastra, 2001). Sampai saat ini hampir 90 persen produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi.Â
Koperasi dengan proses pembentukan "top down" dan intervensi pemerintah yang sangat besar dalam mengatur organisasi dan bisnisnya, sebenarnya tidak sesuai dengan azas koperasi yang seharusnya berakar dari bawah.Â