Pada tahun yang sama, menunjukkan bahwa konsumsi susu di Indonesia adalah 0,57 g/kap/h (Statistik Peternakan, 2001). Berdasarkan sebaran data populasi sapi potong di Indonesia tahun 2000 (Statistik Peternakan, 2001), nampak bahwa wilayah sentra sapi potong dari yang terbanyak adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Telatan, Aceh, Bali. Dihubungkan dengan kepadatan wilayah maka wilayah dari yang terpadat adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Suatu fenomena menarik untuk dikaji, bahwa populasi ternak berhubungan pula dengan populasi penduduk. Keadaan ini menunjukkan bahwa skala usaha sapi potong relatif kecil.Â
Populasi sapi potong di lima provinsi padat ternak menyumbang 59,4 persen. Sebagian besar pola usaha ternak sapi potong adalah pola pembibitan/pembesaran anak. Hanya sebagian kecil peternak yang khusus mengelola usahanya sebagai usaha penggemukan. Pada pola usaha pembibitan tersebut secara ekonomis kurang menguntungkan. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pola usaha demikian masih tetap berkembang. Berdasarkan informasi bahwa tatalaksana usaha ternak pola pembibitan akan kurang efisien pada usaha intensif.Â
Upaya keberlanjutan usaha ternak sapi potong ternyata dapat dikaitkan dengan wilayah persawahan (padi) intensif. Jerami padi yang cukup berlimpah (yang selama ini dibakar) sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Bahkan dengan introduksi teknologi pengkayaan nutrisi jerami padi yang ramah lingkungan (melalui teknologi fermentasi dengan menambahkan mikroba pemecah sellulosa atau amoniasi) dapat meningkatkan nilai gizi pakan. Berdasarkan estimasi bahwa dari luasan lahan sawah yang ditanami padi per musim tanam, produksi jerami padi (relatif sama dengan produksi padi) yang dihasilkan dapat mencukupi satu ekor sapi selama setahun. Usaha ternak sapi potong dapat dikaitkan sebagai penghasil pupuk organik (kompos) yang sangat diperlukan untuk usahatani ramah lingkungan.Â
PERMASALAHAN PETERNAKAN
Perdagangan Internasional
 Indonesia yang tercatat sebagai negara konsumen hasil ternak dunia yang terus tumbuh menghadapi beberapa permasalahan, yaitu : impor produk peternakan itu mempengaruhi produksi dalam negeri, Indonesia memasukan produk peternakan yang tidak halal, isu tarif dan non tarif, dan isu penyebaran penyakit. Impor produk peternakan yang menjadi masalah tahun 2001 adalah impor paha ayam dari Amerika Serikat, daging sapi dari Irlandia, Jagung dari Argentina dan impor kulit dari negara Eropah.Â
Menurut aturan perdagangan bebas, maka importir dapat memasukan produk tersebut, namun hal itu tidak dapat dilakukan karena penerbitan Surat Izin Rekomendasi. Produk peternakan yang tidak mendapat Surat Rekoemndasi Impor (SRI) tidak akan boleh masuk ke Indonesia. SRI tersebut sudah dicabut sehubungan dengan UU No. 7 tahun 1994 tentang perdagangan bebas namun SRI ternyata telah digunakan untuk menahan impor paha ayam, daging, susu, kulit ternak dan jagung. SRI yang terbit tahun 2001 untuk menghambat impor mengandung tiga alasan yakni pertimbangan pencegahan dan menghambat penyebaran penyakit PMK, aspek kehalalan, dan menyangkut masalah perlindungan usaha rakyat.Â
Masalah Kehalalan
 Masalah kehalalan sebagai salah satu rekomendasi pembatasan impor merupakan senjata yang cukup ampuh bagi pemerintah saat ini untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri. Namun sampai kapankah Indonesia bisa bertahan dengan alasan tersebut? Jika status kehalalan sudah jelas, dan sudah dijamin oleh negara ekportir, apakah impor ayam dan paha ayam dapat dilakukan kembali? Saat ini impor ayam hanya khusus untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengusaha daging ayam dan tidak untuk dipasarkan di pasar tradisional. Hal ini memang pernah terjadi dengan Australia, dan kini Australia telah menjamin kehalalan daging yang dimasukan ke Indonesia, sehingga tidak ada alasan pemerintah untuk menolak impor daging tersebut.
Masalah Penyakit PMKÂ
Pemerintah pada tahun 2001 melalui Surat Edaran Menteri Pertanian: TN510-2001 dengan pertimbangan pengamanan penyebaran PMK dalam negeri telah melarang impor hewan dan hasil hewan, bahan baku pakan dan peralatan mesin peternakan bekas dari negara-negara Uni Eropa dan negara-negara Amerika Selatan. Komoditas umum yang terkena peraturan ini adalah ternak dan produk dari sapi, babi, ayam, produk susu olahan dan sebagainya. Larangan impor ini bisa bersifat sementara tergantung pada pengumuman badan International Animal Health: Code Office International des Epizooties (OIE) yang menyatakan apakah suatu negara bebas atau telah dapat menggendalikan PMK. Secara tidak langsung larangan impor ini memberikan keuntungan bagi peternak dalam negeri untuk bisa menutupi kebutuhan impor tersebut. Namun peluang ini telah dimanfaatkan oleh Australia dan New Zealand. Untuk kesekian kali, peternak dan pengusaha dalam negeri tidak memanfaatkan momentum peluang yang tersedia. Dampak negatif dari larangan ini adalah penurunan produksi pakan oleh pabrik pakar yang sudah terbiasa mengimpor bahan baku dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Selatan. Kasus yang paling jelas tahun 2001 adalah larangan masuknya 60.000 ton jagung dari Argentina.Â